Sebut
saja aku “Etik”, Aku mahasiswa semester 2 Jurusan Pendidikan Kimia UNY. Aku
adalah anak pertama dari dua bersaudara. Lahir di Solo tetapi dibesarkan di
Gunungkidul.
Sedikit bercerita tentang pengalaman
hidupku. Kali ini tentang semangat belajar dan semangat bekerja. Sebenarnya
tidak hanya itu nilai kehidupan yang aku dapat sejak kecil hingga sekarang,
tetapi nilai itulah yang paling banyak aku dapatkan.
Semangat
bukan hal baru lagi di telinga kita. Kerap kali, kata semangat dilontarkan
seseorang kepada orang lain untuk memberi kekuatan dalam mencapai suatu hal.
Seperti saat kita memetik buah pada pohon yang tinggi, kita membutuhkan suatu
alat atau barang lain yang dapat
mempermudah kita memetik buah itu. Sama halnya dengan kehidupan, ketika
kita menginginkan sesuatu yang sulit atau bahkan amat sulit dicapai, kita
membutuhkan semangat untuk mempertahankan keinginan kita dalam mencapai suatu
tujuan.
Pengalaman
mendapatkan nilai tentang semangat belajar dan bekerja, aku dapatkan sejak aku
kecil hingga sekarang. Sebenarnya, semangat itu tidak harus berasal dari orang
lain, tetapi bisa dari dalam diri kita sendiri. “ I will never give up, because
I can”, kata-kata yang selalu aku ingat ketika aku benar-benar berada pada
titik di mana aku hamper menyerahkan diri pada keadaan.
Kisah
pertama aku dapatkan ketika aku mengikuti seleksi Paskibra tingkat Kabupaten
Gunungkidul. Sejak kecil, aku memang bercita-cita ingin menjadi anggota
Paskibra. Untuk menjadi seorang Paskibra, sangat diperlukan fisik yang sangat
kuat. Aku sadar bahwa aku tidak memiliki hal tersebut, apalagi aku memiliki
penyakit lemah jantung. Hal itu tidak menyulutkan semangatku, bahkan itu
menjadi semangat bagiku. Aku berlatih setiap hari untuk meningkatkan ketahanan
fisikku. Setiap hari aku latihan baris-berbaris, latihan fisik dari mulai
lari-lari, push up, sit up, sampai back
up yang sebelum tidak pernah aku lakukan. Bahkan saat itu itu aku sempat jatuh
sakit, tetapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku tidak percaya ketika
namaku melengkapi 71 orang yang di mataku adalah orang-orang yang jauh kuat
dibandingkan aku. Mungkin bagi orang lain itu bukan sesuatu yang istimewa
tetapi bagiku itu adalah buah dari usahaku yang begitu semangat latihan untuk
mencapai cita-citaku itu.
Kisah
keduaku berawal dari niatku untuk melanjutkan kuliah setelah lulus SMA.
Kesempatan melanjutkan kuliah merupakan sesuatu yang dinantikan oleh banyak
orang, bahkan kuliah masih menjadi barang mewah yang tidak semua orang bisa
mendapatkannya. Terkadang keinginan seorang anak untuk melanjutkan kuliah
menjadi tantangan tersendiri bagi orang tuanya untuk memenuhi keinginan
anaknya. Biaya perkuliahan memang sangat menguras kantong, tetapi jumlah
nominal yang dibayarkan tentu akan sebanding dengan apa yang kita terima kelak.
Aku
patut bersyukur karena keluargaku mendukung aku untuk melanjutkan kuliah,
tetapi keluargaku bukan keluarga yang kaya atau bahkan sangat kaya untuk
menyediakan uang dalam jumlah besar untuk kuliah, apalagi sat tahun lagi,
adikku akan masuk SMA.
Aku teringat waktu kecil, banyak
orang menanyakan apa cita-citaku kalau besar nanti. Dengan semangat aku
menjawab ‘dokter’. Sebelum keinginan itu benar-benar kuat di hatiku, lebih baik
aku segera memupus dan mengubur dalam-dalam cita-cita yang tidak sesuai dengan
keadaan financial keluargaku. Hal itu aku lakukan jauh sebelum keberanianku
terkumpul untuk menyatakan cita-cita ekstremku itu. Aku berusaha memahami keadaan keluargaku
terutama orang tua.
Aku
tidak tahu apa yang terjadi pada diriku setelah itu, aku bahkan bingung dengan
cita-cita baruku yang ingin menjadi seorang pramugari. Sayangnya, orang tuaku
tidak mengijinkan terutama ibuku yang tidak mau aku pergi jauh dari rumah. Kali
ini aku berani menyatakan keinginanku itu walaupun berakhir sama dengan yang
pertama.
Aku
semakin bingung dengan keadaanku. Semua yang menjadi cita-citaku, keinginanku
bahkan impian besarku bukan lah
cita-cita, keinginan, dan impian bagi orang tuaku. Tidak ada pilihan
lain untukku, mau tidak mau suka tidak suka aku harus berusaha memahami keadaan
orang tuaku. Kali ini aku benar-benar jatuh pada titik terendah dalam hidupku.
Aku merasa tidak ada satu pun cita-cita yang cocok untukku dan bahkan pernah
terpikir bahwa tidak ada orang yang mendukung impianku.
Tidak
lama setelah rasa putus asa itu menguasai aku, aku mencoba untuk bangkit dari
titik terendah dalam hidupku itu. Aku mencoba mencari-cari apa cita-cita baruku
kelak, menemukan minat dan bakatku itu di bidang apa. Aku mulai tertarik dengan
dunia pendidikan. Bagi saya, pendidikan merupakan investasi penting di
kehidupan masa mendatang. Sejak saat itu, aku bercita-cita menjadi seorang
pengajar. Keinginanku kali ini didukung oleh keluargaku.
Aku
tidak mau jatuh pada titik terendah untuk kedua kalinya, akhirnya aku
memutuskan untuk mengikuti alur yang telah ditentukan Allah untukku. Setelah
penerimaan rapor kelas XII semester I, aku mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti program PMDK ( Penelusuran Minat dan Bakat) dari Universitas Negeri
Sebelas Maret (UNS). Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada di
hadapanku. Lagi-lagi orang tuaku kurang setuju kalau aku mengikuti program itu,
alasannya seperti biasa yaitu tidak mau jauh dari aku. Walaupun orang tuaku
kurang setuju aku mengikuti program ini, akhirnya aku mendaftarkan diri ke
Jurusan Pendidikan Biologi UNS.
Berselang sekitar 2-3 bulan, aku
menerima pengumuman penerimaan mahasiswa PMDK UNS. Rasa kecewa berkecamuk lagi
dalam hatiku ketika namaku tidak termasuk dalam daftar mahasiswa yang diterima.
Bahkan aku sempat berpikir, apakah ini akibatnya karena aku tidak mau menuruti
kata-kata orang tuaku. “ Tapi ya sudahlah, tidak ada yang perlu disesali,
mungkin ini belum rezekiku”, kataku dalam hati.
Kembali
lagi aku mengingat kata motivasiku “ I will never give up, because I can”. Aku
tidak akan menyerah, aku mulai lagi membangun pikiran positif bahwa masih
banyak kesempatan di luar sana yang menungguku. Tidak hanya usaha saja yang aku
lakukan, tetapi juga berdo’a agar aku diberi kesempatan lagi untuk masuk
perguruan tinggi. Allah menjawab do’aku, kesempatan kembali datang, lagi-lagi
aku menerima tawaran program PMDK. Kali ini dari Politeknik Kesehatan Negeri
Yogyakarta. Awalnya aku sudah pesimis mengatakan tawaran itu pada orang tuaku,
tetapi apa salahnya aku mencoba. Berbekal sedikit keberanian, aku mengatakan
niatku ini kepada orang tuaku. Aku sangat tercengang dengan jawaban ayahku yang
mengatakan bahwa lebih baik aku tidak kuliah saja dari pada mendaftar di
perguruan tinggi bidang kesehatan yang menghabiskan biaya begitu fantastis bagi
keluargaku. Aku sedih dan sakit rasanya mendengar kata-kata ayahku itu. Hampir
aku berkecil hati karena aku tidak akan dikuliahkan. Lagi-lagi aku harus
membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja.
Setelah
hati ayahku sedikit luluh, aku kembali menyatakan keinginanku untuk mendaftar
diri ke UNY lewat jalur Seleksi Mandiri. Aku mendaftarkan diri melalui ujian
tulis karena aku merasa semangat belajar dan kemauanku ini perlu diuji. Sambil
menunggu hari tes Seleksi mandiri, aku juga mendaftar pada Perguruan Tinggi
dengan ikatan dinas seperti STAN dan STIS.
Berbagai
macam cara belajar aku lakukan demi tes ini. Tidak seperti teman-temanku
kebanyakan yang memilih Bimbel dengan harga fantastis demi masuk Perguruan
Tinggi yang diinginkan, aku tidak berani meminta orang tuaku untuk memasukkan
aku ke Bimbel dengan harga fantastis itu. Aku hanya mengandalkan buku dan
semangat belajarku saja.
Hari
tes masuk UNY jalur Seleksi Mandiri pun tiba, berbekal hasil belajar mandiri
dan semangatku, aku melewati 2 hari tes seleksi. Meskipun dalam hati kecilku,
sedikit ada keraguan dengan pilihan jurusan yang aku ambil, aku tetap optimis
jika akan diterima.
Tanggal
3 Mei adalah hari perpisahan dan wisuda di SMA ku, tepat di hari itu pula
adalah pengumuman mahasiswa diterima Seleksi Mandiri UNY. Berharap jika aku
diterima itu akan menjadi kado terindah di hari perpisahan SMA ku. Mungkin
sudah takdirku, kecewa untuk ke sekian kalinya. Ku telusuri namaku satu per
satu di salah satu halaman Koran pagi itu, berharap namaku ada di antara
ratusan nama itu. Baris demi baris, kolom demi kolom bahkan halaman demi
halaman aku baca dengan teliti, tetapi tidak ku temukan juga namaku di daftar
itu.
Kecewa,
sangat kecewa perasaanku saat itu. “ Sebodoh itukah aku, sampai-sampai aku
tidak diterima lagi”. Perasaanku semakin sakit ketika tahu satu per satu Mau
apa lagi aku kalau itu memang belum rezekiku. Aku berusaha memposisikan diriku
untuk membangun semangatku lagi. Aku selalu berpikir bahwa kegagalan itu
mungkin awal dari suatu keberhasilan. Aku berharap hal itu pula yang akan aku
dapat.
Aku
tidak pernah mau melupakan kegagalanku yang sudah-sudah, karena itu bukan hal
yang pantas dilupakan. Kegagalan adalah cambuk bagiku untuk menjadi lebih baik.
Tidak lama aku terpuruk dalam rasa kecewa itu, aku segera bangkit untuk
melanjutkan perjuangan-perjuanganku selanjutnya.
Kini
giliran STIS yang menjadi pilihan ketigaku, harapanku selalu sama, ingin segera
diterima di Perguruan Tinggi. Bukan untuk yang pertama aku seperti ini, aku
lebih tenang mengerjakan tes ini. Tidak lama setelah itu, aku juga mengikuti
tes STAN selama 2 hari.
Kali
ini orang tuaku sangat mendukungku. Bahkan tidak jarang mereka menemani aku
belajar hingga larut malam. Sambil menunggu pengumuman STIS dan STAN, aku juga
mendaftar SNMPTN. Jujur, aku dilema dengan pilihan jurusan yang akan aku ambil
di SNMPTN. Sebenarnya aku ingin mencoba salah satu jurusan di UGM, tapi aku
harus memikirkan biayanya. Pada waktu itu, tidak mungkin kalau orang tuaku akan
mengijinkan aku mendaftar UGM.
Setelah
melewati banyak perdebatan antara pikiran dan kenyataan, akhirnya aku
memantapkan pilihanku untuk mengikuti SNMPTN program IPC dengan pilihan jurusan
Pendidikan Kimia, Pendidikan IPA, dan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY).
Cita-cita
yang datang tiba-tiba karena keadaan yang memaksa itu justru menjadi cita-cita
yang kuat di dalam hatiku. Ketertarikanku dalam dunia pendidikan akhir-akhir
itu menjadi keinginan yang begitu kuat untuk menjadi seorang pengajar. Jujur,
keadaan itu aku syukuri karena aku menjadi sadar kalau profesi pengajar itu
profesi yang mulia. Walaupun menjadi seorang pengajar itu sulit, itu menjadi
tantangan yang membuat aku lebih bersemangat mengejar profesi itu.
Aku
tidak pernah menyesal bercita-cita menjadi seorang pengajar. Mungkin keinginan
itu datang karena keadaan yang memaksa, tetapi bukan keinginan yang terpaksa.
Mungkin awalnya aku kurang tertarik dengan profesi itu, tetapi lama-kelamaan
aku mulai menyukai itu, bahkan sangat menyukainya.
Hari
itu hari pengumuman STIS, sebenarnya sejak aku bercita-cita menjadi pengajar,
aku sudah sedikit tidak berharap lagi diterima STIS atau STAN. Mungkin untuk
sebagian orang, diterima STIS atau STAN secara prestige memang lebih “wah” dibanding masuk Perguruan Tinggi
jurusan pendidikan. Bagiku itu bukan masalah prestige, tetapi ini benar-benar masalah keinginan dan pilihan
hidup.
Mungkin
Allah tahu hatiku, namaku tidak ada di daftar mahasiswa diterima sama seperti
sebelum-sebelumnya. Walaupun aku tidak terlalu menginginkan diterima, tetapi
aku merasa kecewa karena sampai saat itu tidak satu pun universitas menerima
aku. Kekecewaan itu semakin bertambah saat pengumuman STAN tahap I dan
lagi-lagi aku tidak diterima.
Tinggal
satu harapanku, satu per satu pilihan cita-citaku itu tercoret dalam kamus
hidupku. Dari kegagalan yang terus aku alami, aku merasa lebih tertantang dan
lebih bersemangat untuk memperjuangkan harapan terakhirku yaitu SNMPTN. Aku
merasa saat itu aku sangat bersemangat untuk belajar. Bahkan, kadang-kadang
aku rela belajar sampai larut malam
secara rutin sampai waktu tes SNMPTN. Selain belajar, sejak saat itu aku
menjadi lebih rajin lagi berdo’a.
16
dan 17 Juni 2010 seakan menjadi 2 hari yang berat untukku, tapi entah mengapa
aku merasa sangat optimis untuk kali ini. Entah karena sudah percaya diri
dengan hasil belajarku atau memang sudah firasat. Aku begitu tenang menjalani 2
hari terberat itu. Aku tetap berharap akan mendapatkan yang terbaik dariNya.
Tepat
sebulan setelah itu adalah hari pengumuman SNMPTN. Entah mengapa aku begitu
tenang menghadapi hari itu. Pagi itu aku mencari namaku diantara ratusan bahkan
ribuan nama mahasiswa diterima SNMPTN. Beberapa halaman sudah aku periksa, tapi
tidak juga aku temukan namaku. Aku bahkan sudah tidak melanjutkan mencari
namaku, tapi ibu mengatakan padaku bahwa ia yakin aku diterima. Di lembar
terakhir Koran pagi itu aku temukan namaku berada di antara ribuan nama itu.
Aku sangat bersyukur dan senang sekali, apalagi setelah tahu aku diterima di
jurusan Pendidikan Kimia yang memang
paling aku inginkan.
Selain
nilai semangat belajar dan bekerja, aku juga mendapatkan nilai kesabaran dan
ketaatan beragama. Aku menjadi sadar bahwa kita akan mendaptkan apa yang kita
inginkan ketika kita semangat melakukannya, sabar menantinya dan senantiasa
berdo’a kepadaNya.
0 komentar:
Posting Komentar