SEKARANG KAKAK SAYANG SAMA KALIAN



Aku kembali ke kos setelah kemaren aku merayakan tahun baru di rumah bersama keluarga. Duh, aku pasti merasa males kalau keadaannya seperti dulu ketika masih awal-awalnya aku pisah dari ibuku. Tapi tidak untuk sekarang, saat aku merasa telah ada seorang teman di tempat yang dulu paling aku benci. Apalagi hari ini dia pasti di kos, karena dia bilang akan merayakan tahun baru di Jogja bersama kakak adiknya setelah dua minggu pulang ke Palembang.
Kupikir aku tak akan kesepian lagi dengan keberadaannya. Betapa senangnya aku melihat senyum manisnya, betapa cantiknya orang ini. Kelemahlembutannya, ketenangannya, kearifannya dan semua kebaikannya membuatku ternganga. Kesediaannya membantu orang lain yang benar-benar tulus tanpa pamrih itu hampir membuatku menangis. Sungguh, aku takut sekali kalau sampai berani menyakitinya. Subhanallah! Aku benar-benar menemukan orang seperti ini. Aku hanya berpikir, selama aku masih bersamanya yang entah sampai kapan nanti aku akan belajar darinya apapun yang bisa kupelajari. Orang yang satu ini tak kan pernah kusia-siakan.
Setibanya aku di kos, kubuka pintu kamarku. Kos ini tampak sepi. Seharusnya itu menjadi hal yang biasa, aku sadar itu. Tapi aku merasa tidak terima. Mbak Hesti tidak di kos. Aku tahu kemana dia. Dia sedang pergi dengan saudara-saudaranya itu. Dia pasti menikmatinya. Dia akan bahagia bersama mereka. Biarkan Aulia, dia sudah lama tidak ketemu saudara-saudaranya. Bagaimana perasaanmu bila kau lama pergi jauh lalu tiba-tiba ada kesempatan rekreasi bersama keluarga? Aku kepikiran begitu dan kucoba meredam pikiranku sendiri. Tak ada yang aneh dari hal itu. Orang normal pasti bahagia ketika pulang dan ketemu keluarganya, begitu yang kulihat dari teman-temanku.

Aku pun sebenarnya juga senang ketika pulang, lalu ketemu dengan ibu, simbah, bulek, paklek. Aku menyukai mereka. Aku sayang sama mereka. Suka sekali saat aku ngobrol dengan sepupu-sepupuku. Senangnya melihat mereka tertawa dan ngobrol dengan semangat. Ketika mereka tersenyum, aku tersenyum bagaikan besi terinduksi magnet. Namun aku akan merasa biasa saja dengan adik-adikku. Aku tak menyayangi mereka. Bahkan aku pernah membenci mereka. Sangat benci, hingga ingin sekali melenyapkan mereka. Terutama ketika adikku masih perempuan semua yang sangat membosankan.
Aku mempunyai empat adik, perempuan semua kecuali yang terakhir. Aku sangat benci adik pertamaku karena dia telah merebut kasih sayang dari ibuku. Apapun itu ibuku pasti memprioritaskan yang lebih kecil, entah dia salah atau benar. Sungguh aku sangat benci. Mau tahu bagaimana ceritanya? Aku selalu main tangan dengan adikku. Setiap kali aku dan adikku bertemu, dia langsung duduk bersimpuh. Pintar sekali dia. Posisi seperti itu memang sangat aman dari pukulanku ataupun doronganku. Dia seperti itu karena tahu aku akan menghajarnya. Sampai segitunya kebencianku terhadap adikku.
Begitu pula saat adik keduaku lahir. Aku selalu memprovokatori adik pertamaku untuk menerornya. Lumayan, aku bisa dikatakan berhasil. Saat itu, ketika aku paling tidak mulai berpikir daripada  sebelumnya, aku sedikit merasa jadi orang jahat. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku puas sekali menganiayanya dan ibu pun tak tak pernah berhenti membelanya, jadi kupikir dia akan tetap aman. Tapi, aku menyadari kalau adik pertamaku tidak benar-benar membencinya. Aku menangkap gelagatnya yang masih ada rasa kasih sayang pada adiknya itu. Yah, kupikir dia memang tidak ada alasan untuk membencinya. Kalau sekarang aku berpikir, memangnya saat itu aku punya alasan? Sebenarnya juga tidak ada.
Saat adik yang ketiga lahir, aku sudah bertambah dewasa paling tidak. Umurku sekitar delapan tahun. Setahuku aku tidak membencinya seperti pada kedua kakaknya, tapi aku juga tidak menyayanginya. Dia imut dan cantik. Lucu dan manis sekali. Aneh juga aku merasa seperti ini. Mungkin aku memang sudah menyayanginya, tapi aku masih belum bisa bersikap sebagai seorang kakak.
Seperti itulah sekilas cerita mengenai adik-adik perempuanku. Beberapa alasan yang bisa memaklumi karakterku saat itu. Aku belum ada dua tahun saat adik pertamaku lahir, lebih tepatnya dua tahun kurang empat hari. Kemudian saat ini aku baru mengerti kenapa ibuku selalu membela yang lebih kecil. Aku anaknya kuat sekali. Kalau mukul ya tidak tanggung-tanggung. Apalagi kalau emosi, sekuat tenaga aku lampiaskan. Kemudian sekarang ini aku baru sadar, kasihan juga kalau anak kecil dianiaya dan dikeroyok sama yang lebih tua. Tapi menurutku akan lebih baik, jika setelah itu dijelaskan mana yang benar dan mana yang salah agar anak juga bisa berpikir. Aku lupa saat itu ibuku menjelaskan atau tidak, aku sudah tidak mengingatnya lagi.
Adik terakhirku lahir tepat tiga tahun lebih sebulan dari kakak sebelumnya. Dialah satu-satunya anak laki-laki dari lima bersaudara. Aku senang sekali dengan kehadirannya. Dia sangat enerjik, ceria, dan sehat. Benar-benar adik yang menyenangkan. Aku menyukainya mungkin karena di antara kami ada persamaan. Aku, biarpun seorang anak perempuan, tapi tenagaku cukup kuat, sedangkan dia adalah anak laki-laki sudah tentu tenaganya juga kuat. Dengan demikian saat aku mengganggunya dia akan balas memukul atau mengejarku, bukannya menangis ataupun mengadu pada ibu.
Selama beberapa tahun, keadaannya masih seperti itu. Walaupun semakin bertambah umurku, aku menyadari kalau aku salah, aku harus merubahnya, tapi masih belum bisa. Rasa jengkel, sengit, kesel itu kadang masih menguasai otak dan hatiku. Aku mulai benci pada diriku sendiri, bukan pada mereka. Kenapa aku tidak bisa mencintai dan menyayangi mereka. Aku sakit dan iri, ketika melihat kakak dan adik bisa saling menyayangi dan saling pengertian.
Aku bahkan heran pada temanku yang sedih sekali saat ditinggal oleh kakaknya yang ikut suaminya. Betapa dia itu sangat mencintai kakaknya. Sedangkan aku merasa biasa-biasa saja saat adikku pergi, mungkin aku malah akan senang karena aku bisa bebas di rumah. Begitu pula dengan temanku yang lain, saat dia beli es krim denganku sempat-sempatnya dia membelikan kakaknya. Sedangkan aku kalau beli makanan bagaimana caranya agar bisa habis di jalan atau disembunyikan agar tidak perlu membagi dengan adik-adikku.
Ada kalanya tebersit di benakku, mungkinkah adikku sudah tak peduli lagi denganku, mereka tidak membutuhkanku lagi, apalagi memperhatikanku. Itu sudah sewajarnya. Itu pantas kudapatkan, karena mereka sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang ataupun perhatian dari kakaknya. Baru akhir-akhir ini saja aku mulai memperhatikan mereka. Aku berharap adikku tak pernah tahu mengenai kebencianku pada mereka sebelum aku benar-benar bisa mencintai mereka sehingga bisa kuwujudkan baik dari hati maupun sikapku.
Hingga saat ini, aku masih merasa iri dengan mbak Hesti yang bisa rukun dengan kedua saudaranya. Aku merasa terbuang. Mbak Hesti senang bisa bersama dengan saudaranya. Adikku mungkin tak perlu repot memikirkanku.
Kulempar tubuhku di atas kasur. Kutatap sudut ruangan yang berlawanan dengan letak kepalaku ini. Remang-remang. Kulayangkan pandanganku pada salah satu sisi ruangan. Kutahan tangisku. Tidak perlu menangis. Lagian aneh juga kalau tiba-tiba mbak Hesti datang mendapatiku sedang menangis tanpa alasan yang jelas. Sepertinya, mbak Nawa yang di kamar samping sedang mengerjakan tugas. Aku kembali melihat dinding ruangan ini. Semua benda-benda disini patuh sekali ditata wanita itu. Rapi dan nyaman.
Beberapa jam lagi mungkin mbak Hesti akan kembali. Aku sangat menanti kedatangannya. Disini dia kuanggap sebagai kakakku. Kata-katanya selalu kudengarkan dan kuperhatikan. Tutur katanya sangat lembut dan hangat. Dia tidak peduli bagaimana sifatku yang pendiam. Kadang aku merasa geli, kalau ingat mbak Hesti bercerita panjang lebar dan bersemangat, aku lebih banyak diam dan tidak banyak menanggapi. Bukannya aku malas mendengarkannya atau tidak mempedulikannya, tapi karena aku tidak tahu harus bicara bagaimana, daripada aku salah ngomong kupikir lebih baik aku diam.
Benar juga, sekitar jam lima sore mbak hesti datang.
“Assalamu’alaikum! Eh, Aulia sudah pulang ya?” Tanyanya menyapaku.
“Wa’alaikumsalam. Iya mbak. Dari maen ya? Kemana aja?” Balasku.
“Ke alun-alun sama marlboro. Itu kakakku ada di bawah Aul. Temuin aja, tadi lagi ke kamar mandi tapi.”
“Oh, ada mbak Ratih?” Dalam hati aku terkejut. Tak kusangka aku bisa ketemu dengan orang yang tak kalah cantik ini. Selama ini aku hanya mengenalnya melalui foto dan ceritanya mbak hesti.
Aku segera memakai jilbab dan baju panjangku lalu turun untuk menemuinya. Dari atas kulihat seorang perempuan dengan tinggi sekitar 150 cm mengenakan gamis warna pink dan putih. Cantik sekali. Aku menemuinya dari arah belakang.
“Mbak Ratih ya? Aku Aulia, mbak.” Sapaku padanya.
“Hmm? Iya. Aulia yang sekamar sama Hesti ya?” Jawabnya sambil menoleh.
            “Iya mbak.” Kami bersalaman dan kucium tangannya
”Mana Hesti tadi?” Tanyanya.
“Masih di atas kayaknya. Lha itu dia baru turun.” Kulihat mbak Hesti jalan menuruni tangga di belakangku.
Kemudian kami beriga keluar di tempat parkir motor depan kos untuk menemui adik laki-lakinya mbak Hesti dan suaminya mbak Ratih. Kami ngobrol cukup lama disana. mereka ini orang-orang yang menyenangkan. Mbak Ratih ini sama persis dengan apa yang diceritakan mbak Hesti, terlihat lebih muda daripada umur sebenarnya, bahkan seperti anak kecil. Badannya yang pendek dan mukanya yang manis membuatnya tampak seperti gadis yang menikah di bawah umur. Padahal saat itu dia sudah berumur 24 tahun dan bekerja di sebuah bank di Palembang.
Namun bukan itu yang menjadi perhatian utamaku. Mbak Ratih ini sangat menyayangi adiknya, mbak Hesti. Dari cerita mbak Hesti sendiri, meskipun dirinya bersikap kurang ajar sama kakaknya, mbak Ratih tak pernah membalasnya. Pernah sewaktu kecil mbak Hesti melempari kakaknya itu dengan sendok tanpa alasan, mbak Ratih nggak marah ataupun membalas, dia hanya menangis kesakitan saja. Kakak yang baik, aku akan menirunya. Aku tidak tahu, bagaimana memulai menyayangi adik-adikku, aku hanya berpikir paling tidak aku akan menerima mereka apa adanya dulu. Harapanku masalah kepedulianku sama mereka nantinya akan mengalir sendiri.

BY: AUL

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih