Syukurku pada-Mu, ya, Allah...

Tik…tok…tik…tok…waktu terus meluncur tanpa ampun. Peluhku pun tak berhenti membanjiri tubuhku yang kini semakin tegang saat ku lihat jam kesayanganku memberitahuku bahwa waktu tempurku akan habis. “Ya, Allah, aku berharap ada keajaiban-Mu yang membuat jawaban-jawabanku ini bisa membuatku lolos dalam ujian yang sudah ku persiapkan semaksimal mungkin. Amin.”batinku berujar sambil menyerahkan lembar jawabanku pada pengawas ujian. Akhirnya aku menyeret kakiku keluar dari ruangan tempat aku melaksanakan tes ujian masuk STIS. Ayahku yang sedari tadi setia menungguiku di luar menyambut kedatanganku, putrinya yang beliau harapkan dapat lolos dalam ujian masuk STIS ini. “Bagaimana soalnya, Nak? Kamu bisa mengerjakannya kan?”, tanya ayahku. “Soalnya sulit, Yah, karena ini kan diperuntukkan untuk anak IPA bukan umum jadi tidak ada soal logika seperti STAN. “Ya, sudah gak apa-apa, Nak, yang penting sekarang tinggal bertawakal atas usahamu, “ nasehat yang begitu bijak dari ayahku.
Berhari-hari aku merasa terombang ambing dari ketidakpastian menunggu masa depanku akan ku ukir di mana. Apakah di STIS? Universitas kedinasan yang begitu diidam-idamkan oleh ayahku. Batinku pun masih bimbang apa aku harus ikut SNMPTN untuk ‘berjaga-jaga’ jika aku tidak lolos STIS. Aku pun meminta beberapa pendapat orang tuaku dan sahabat-sahabat dekatku. Dan hasilnya mereka semua berpendapat agar aku ikut SNMPTN karena aku belum tahu apa yang terbaik untukku dari Allah jadi aku tidak boleh hanya bergantung dari ujian STIS saja. Apa yang aku inginkan belum tentu apa yang aku butuhkan. Dan Allah akan memberikan apa yang aku butuhkan bukan apa yang aku inginkan. Ya, itulah kata-kata bijak dari buku dan ustadz yang menjadi pertimbanganku akhirnya aku ikut SNMPTN.
Bismillah….dengan iringan terik mentari siang itu, aku bergegas menuju warnet untuk mendaftar online SNMPTN. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran. Sudah dua kali aku mencoba mendaftar kemarin tapi gagal terus. Hatiku mulai bimbang untuk ikut SNMPTN. “Apa sebenarnya itu petunjuk Allah agar aku tidak ikut SNMPTN?” batinku. Ku putar lagi kata-kata semangat dari sahabatku. “Tidak ada kata terlambat mendaftar SNMPTN selagi pendaftaran masih dibuka. Semangat Azizuku.”

Lamunanku terhenti saat ku dapati langkahku telah sampai di depan warnet. Bismillah…aku pun masuk ke dalam warnet. Ku buka situs perndaftaran SNMPTN. Aku mulai mengisi lembar biodata dan sampailah aku pada kolom pengisian pilihan jurusan yang akan ku ambil. “Astaghfirullah, jurusan apa yang akan ku pilih? Aku bahkan tidak punya gambaran sedikit pun untuk mengambil  salah satu pilihan yang tersedia dari pilihan jurusan yang ada. Universitas mana yang harus ku pilih? Ah, kenapa aku tidak mempertimbangkan hal ini sebelumnya hingga aku dapat mendiskusikannya dengan ibu dan ayah? Bagaimana ini?”, bertubi pertanyaan memenuhi benakku. Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran SNMPTN. Tak ada lagi negosiasi yang bisa aku lakukan karena akan semakin memperlambat waktuku apalagi aku harus segera membayar biaya SNMPTN ke BNI. “Ya, Allah…permudah jari-jariku untuk bergerak dan mengisi  kolom pilihan jurusan yang harus kuisi.” Pintaku dalam hati.
Pendidikan kimia S-1
 Universitas Negeri Yogyakarta.
Pendidikan biologi S-1
 Universitas Negeri Semarang.
Tilut…tilut…tilut…bertubi-tubi sms masuk di hp-ku.
Aku deg-degan ni, nunggu hasil pengumuman ujian pertama STIS. Aku takuuut gak lolos, Zi. Kamu bagaimana?
Ziii, aku gak sabar nunggu jam dua belas malam. Aku ketrima gak yaa…kamu deg-degan gak?
Ayo, siapkan hati kawan, kita akan segera menerima takdir kita. ^^
Itulah beberapa sms yang memenuhi inbox-ku sore itu. Kami semua sedang menanti pengumuman tes ujian masuk STIS tahap pertama. Aku yang awalnya tidak terlalu memikirkan pengumuman STIS jadi mulai deg-degan tak karuan gara-gara sms teman-teman. Padahal esok hari aku juga ikut tes ujian masuk STAN. Jujur, aku tidak berminat ke sana tetapi kakak sepupuku yang telah mendapat pekerjaan tetap di STAN menyuruh dan menyemangatiku untuk tetap ikut. Orang tuaku pun ternyata mendukung aku mendaftar STAN. Ya, aku kan sudah memutuskan akan mendaftar sekolah kedinasan atau menjadi guru jadi aku pun mendaftar sekolah kedinasan STIS dan STAN serta ikut SNMPTN.
Aku berusaha agar tetap focus untuk persiapan ujian STAN besok. Tapi, kegundahan hatiku menunggu hasil pengumuman tes tahap pertama STIS membuatku tidak bisa tidur padahal aku harus bangun pagi dan berangkat dari rumah pukul 03.30 ke tempat ujian bersama ayahku. Ya, ayahku selalu saja membersamaiku di setiap tes-tes penentu masa depanku. Ayah yang begitu setia menungguiku tes, berdo’a di luar saat aku berkutat dengan soal-soal ujian di dalam. Itulah bentuk semangat darinya. Berkorban melawan dinginnya pagi hanya untuk mengantarkanku ke tempat ujian masuk. Sungguh, aku ingin sekali bisa memberi kabar baik untuknya dengan lolosnya aku dalam ujian STIS. Aku yang tidak bisa tidur memutuskan untuk membaca al- Qur’an. Memohon kepada Sang Maha Pemilik Hati untuk menguatkanku agar bisa menerima segala takdirnya esok. Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Sepenggal arti dari surat ar- Rahman yang membuat mataku tak kuasa membendung air mata yang ku tahan. “Ya, nikmat Allah manakah yang bisa aku dustakan? Begitu banyak nikmat yang Allah telah berikan. Kuatkan aku, ya, Rabb,. Untuk menerima takdir-Mu esok. Apa pun itu, baik atau buruk. Kuatkan aku, ya, Allah. Amin.” Doaku lirih yang diiringi hembusan angin malam dan alam semesta yang mendengarnya.
“Apa tidak capek? Istirahat dulu saja, Nak. Kan masih bisa dilihat besok.” Pinta ibuku. “Tapi, aku penasaran, Bu, aku tidak capek kok.” Jawabku sambil menyalakan stater motor dan bersiap ke warnet untuk melihat hasil pengumuman tes tahap pertama STIS. Teman-temanku sudah melihat hasil pengumuman tadi pagi. Aku mengendarai motor dengan hati yang hampir meledak karena deg-degan yang semakin tidak bisa ku tahan. Rasanya hatiku semakin tidak karuan saat aku telah sampai di warnet. Jari-jariku mulai mengetik alamat website STIS. Berkali-kali ku cocokkan nomor ujian yang ada di kartu yang sedang ku pegang dengan nomor yang tertera di computer. “Nomorku masuk? Benarkah? Apa itu benar-benar nomorku?”. Bertubi-tubi pertanyaan membuat hatiku semakin membuncah. “Ya, Allah, aku lolos ujian tahap I STIS. Alhamdulillah, ya, Rabb.” Ucapku seraya bersujud syukur di bilik warnet yang aku tempati. Aku melaju cepat dengan hati membuncah ingin segera memberi tahu kabar baik ini kepada ibu dan ayah. Mereka begitu bersyukur dan bahagia aku bisa lolos tahap I ujian STIS. “Alhamdulillah, kamu bias lolos, Nak. Persiapkan syarat-syarat yang diperlukan untuk ujian tahap II.” Kata ayahku. Ya, aku harus mempersiapkan diri untuk ujian tahap II, psikotes dan wawancara.
“Aku sungguh sudah di skakmat, Yah. Sudah tidah mungkin aku lolos tahap II ini. Uh, benar-benar menyebalkan sekali pewawancara itu. Aku juga belum pernah diwawancara dan tidak pandai ngomong di depan orang, Yah. Untuk ujian tahap II ini aku sudah merasa tidak akan lolos, Yah.” Jelasku pada ayahku. “Ya, sudah tidak apa-apa, memang benar kok jawabanmu, yang penting jujur tidak usah berbohong hanya agar kamu diterima. Masih ada SNMPTN yang menunggumu, Nak.” Ayahku berkata lembut dan tetap tersenyum meski aku telah mengeluh dan berkali-kali berkata aku gagal dalam tes wawancara STIS. “Maafkan aku, Yah…maafkan aku, tak bisa mewujudkan keinginanmu. Aku gagal masuk STIS, sekolah kedinasan idamanmu.” Batinku dalam hati sambil menahan air mataku agar tak tumpah di hadapan ayahku, ya, aku harus berpura-pura tegar dan kuat.
Masa depan…oh, masa depan…akan ku ukir di manakah masa depanku? Di STIS? Ah, sudah tak bisa diharapkan. Di STAN ? aku tidak lolos. SNMPTN? Apa iya dapat ku andalkan dengan persiapan dan niat yang 50% pun tidak ada. “Ya, Rabb, haruskah hari ini aku kembali menerima kabar menyakitkan pada pengumuman SNMPTN? Tapi, aku memang sama sekali tidak melakukan persiapan untuk itu, apa aku pantas untuk memohon pada-Mu agar aku lolos SNMPTN?” batinku yang sedang belum selesai berkabung gara-gara wawancara STIS bertanya-tanya. Tulit…tulit…tulit…dering sms membuyarkan lamunanku.
Ziiii, cepet kirimin nomor tes SNMPTN-mu. Biar aku lihat. Jeje diterima di Pendididkan TI UNY. Ayo, Zi…bls gpl.. 
            “Ah, Dinda, kenapa bersemangat sekali mengetahui hasil tes SNMPTN-ku? Aku saja sama sekali tidak bersemangat untuk tahu.” Aku pun membalas sms sahabatku itu.
Gak usah, Din. Biar nanti ku lihat sendiri aja. OK?
Tak lama balasan Dinda datang.
Pokoknya kirimin. Pliiis, Zi. Aku gak mau kamu terus-terusan memikirkan STIS-mu. Kamu lebih cocok jadi guru, Azizuku… ku tunggu nomor ujianmu, nduk.
Huft…dasar ding dong. Ya, sudahlah aku kirimkan saja biar dia yang tahu hasilnya dulu yang kemungkinan besar buruk. Tulit...tulit...tulit...sms yang sebenarnya tidak ku harapkan datang.
Azizukuuuuu....baca ni, hasil SNMPTN-mu
Nomor Peserta Nama Peserta Diterima di 110-46-011013001 AZIZAH NUR'AENI 461032 — PEND. KIMIA, UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
“Astaghfirullah...mana mungkin???”, batinku kaget menerima sms dari Dinda dan segera aku mencari kartu ujian SNMPTN-ku dan mencocokan nomorku yang tertera di kartu dengan sms Dinda. “Hah?? Sama...subhanallah, aku bisa diterima dalam ujian yang sama sekali tidak mendapat kesungguhan niat dan usaha dariku...” Aku masih saja belum bisa percaya dengan berita SNMPTN-ku hari ini.
Selamat, yaa, Azizuku...aku tahu kamu lebih berbakat dan cocok jadi guru J
Sms Dinda menyadarkanku yang masih syok mendapat berita mengejutkan ini.
Ku coba membalas sms sahabatku dan menunjukkan perasaan bahagia yang sebenarnya belum aku rasakan.
Yeap...makasih, teman, walaupun sebenarnya masih sulit mempercayai berita ini tapi, ya, mungkin inilah yang aku butuhkan dan Allah telah memberikannya. Hehe...
 “Alhamdulillah, kamu lolos SNMPTN, Nak. Dipilihan pertama dan tempatnya dekat lagi.” Ibuku berkata padaku sambil memegang hasil SNMPTN yang telah ku print. “UNY itu bagus lho...jadi guru juga pekerjaan yang bagus.” Ayahku menambahkan. Aku hanya diam dan melangkahkan kakiku ke kamar. Apa aku bahagia? Aku bahkan belum merasakan bahagia sejak mendapatkan berita itu dari Dinda. Aku tahu ibu dan ayah hanya berusaha menghiburku agar aku tidak terlalu merasa bersalah atas kegagalanku masuk sekolah kedinasan. Huft...
Besok Senin pengumuman ujian tahapII STIS sekaligus akhir registrasi masuk UNY. “Apa sebaiknya aku bilang pada ayah agar tidak usah membayar dulu dan menunggu pengumuman STIS? Tapi, paling lambat membayar jam 15.00. Aduh, bagaimana ini? Kalau tidak dibayarkan dan aku tidak lolos tahap II STIS aku harus bersiap pengangguran dan semakin merepotkan ibu dan ayah di rumah.” Bertubi-tubi pertanyaan meluncur tanpa ampun, membuat kepalaku semakin kacau. “Ambil saja, Nak. Ayah sudah menyiapkan biaya untuk itu kok. Kuliah di mana saja sama asalkan ilmu itu nantinya dapat digunakan untuk hidupmu dan berguna bagi orang lain.” Saran ayahku setelah aku mengusulkan agar tidak usah membayar dan menunggu pengumuman STIS yang sebenarnya tidak bisa ku harapkan dengan hasil wawancara yang gagal. Akhirnya, aku yang diantar ayah pergi ke BNI dan membayarkan uang registrasi sebesar Rp 7.355.000,00. 
Petir menyambar di hari yang masih begitu dini, pukul 02.00. Telingaku rasanya tersengat, tubuhku kaku. Dan banjir air mata tumpah ruah tak terbendung. Ya, meski aku telah ‘siap’ untuk gagal dan bisa merasakan kegagalanku tapi tetap saja berita yang baru saja ku terima dari temanku membuat aku merasakan sakit dan sedih luar biasa. Betapa tidak...ibu dan ayahku sangat berharap aku dapat diterima di STIS dan aku gagal mewujudkannya. Pagi itu aku yang belum tidur karena masih ber-sms-an dengan teman-temanku untuk mengetahui pengumuman STIS sudah mendapat jawaban pasti tentang takdirku yang tertolak di STIS. “Bagaimana aku memberi tahu ibu dan ayah? Apa aku tega? Apa aku tega memberi tahu ayah yang sudah berkorban dan setia membersamaiku disetiap ujian dan segala persyaratan STIS yang harus ku penuhi dengan bolak balik Kebumen-Jogja setiap sebelum subuh?? Apa aku tega menyampaikan pada ibuku yang tak henti mendoakanku bisa mengerjakan ujian dengan lancar dan berhasil masuk STIS?”, pertanyaan yang tak henti melontar di sela tangisku yang ku tahan agar keluargaku tak mendengarnya.
“Mau ke warnet jam berapa, Nak? Apa teman-temanmu sudah lihat hasil pengumumannya? Jeje diterima ndak?” pertanyaan ayahku yang semakin memojokkan dan menyiutkan nyaliku untuk berterus terang kalau aku tidak lolos STIS. “Ke warnet ntar sore, Yah.” Jawabku singkat. Aku melihat ayah, ibu, dan adikku yang sedang menonton teve dan menimbang-nimbang cara menyampaikan kegagalanku ini. Hatiku yang menahan tangis semakin sakit membayangkan betapa sedih dan kecewanya mereka nanti setelah tahu kegagalanku. Aku menarik napas dan berpura-pura memainkan hp-ku. “Yah, teman-temanku sudah pada tahu hasilnya. Ini mereka pada sms. Jeje dan Nayla berhasil. Arif, Tantri, dan aku tidak lolos, Yah.” Kataku tercekat sambil berdiri dan akhirnya lari ke kamar mandi dan menangis. “Ndak apa-apa, Nak, ndak ketrima di STIS. Sekolah di mana pun sama kok. Ayah dan ibu ndak apa-apa kamu kuliah di UNY.” Ayahku menghiburku di depan pintu kamar mandi. Tangisku semakin menjadi dan meledak mendengar kata-kata ayahku aku semakin merasa bersalah. “Aku gagal...aku gagal...aku gagal...mewujudkan harapanmu, Yah, membahagiakanmu dan ibu.” Jeritku dalam hati.
Wajahku seperti monster. Mata sembab, merah, dan membengkak karena terlalu lama menangis. Adikku yang masih kecil pun bingung dan terlihat kasihan melihat rupaku yang demikian mungkin terlihat begitu menyedihkan. Aku memberanikan diri duduk di ruang teve. Ayah dan ibuku yang sempat diam kemudian berkata. “Ayah dan ibu ndak apa-apa kamu kuliah di UNY, Nak. Kami malah senang karena tempatnya dekat dengan kondisimu yang tidak bisa ‘sehat’ saat naik bus dan kendaraan umum lainnya. Maksud kami menyuruh kamu kuliah di sekolah kedinasan agar kamu kelak bisa langsung bekerja dan meringankan biaya karena biaya kuliah dan bulanan mendapat tunjangan pemerintah. Tapi, ayah dan ibu masih mampu kok membiayaimu di sekolah negeri.” Kata-kata bijak dari ayah dan ibuku yang entah kenapa tidak mampu menghiburku tapi kian membuatku merasa bersalah. Aku tahu mereka ingin sekali aku kuliah di sekolah kedinasan. Meski aku belu begitu tahu manfaat sekolah kedinasan tapi aku berjuang keras agar dapat masuk di sekolah kedinasan . semata demi mereka, ayah dan ibuku yang begitu ak sayangi. Dan aku hanya diam mendengarkan mereka.
Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Penggalan arti surat ar-Rahman kembali mengingatkanku. “Ya, Allah, aku diterima di UNY tapi aku tidak bersyukur hanya karena kegagalanku di STIS. Aku hanya mengingat cobaan-Mu padahal nikmat yang begitu besar tak henti Engkau berikan untukku. Aku beruntung dapat diterima di UNY, universitas yang begitu diidamkan oleh sahabatku, Dika, tapi ia belum beruntung dan masih mencoba SM 2 untuk masuk UNY. Astaghfirullah...ampuni aku, ya, Allah. Aku harus bangkit. Aku harus bisa menunjukkan pada ayah dan ibu bahwa mereka tak akan pernah menyesal menyekolahkanku di UNY.” Kata-kata yang teruntai keluar dan memompa semangatku untuk kembali bangit dan berusaha menerima dengan lapang dada dan percaya bahwa inilah yang terbaik untukku dari-Nya.
Berbagai alur registrasi aku lalui di kampus biru FMIPA UNY. Kampus tempat aku memulai lembaran hidup baru, lembaran masa depan. Aku juga mulai mencari kos yang akan menjadi tempat tinggalku di kota perantauanku ini. Aku mendapat kenalan dari kakak kelas SMA seorang wanita ‘berjilbab besar’. Mulanya aku takut akan diajak ikut aliran tertentu dan aku berniat menolak kos bersama mereka. Tapi, memang tidak ada yang bisa menolak hidayah Allah jika Allah sudah bekehendak. Di sinilah, aku menjadi manusia baru, Azizah yang baru. Lingkungan kos yang berisi wanita-wanita sholehah yang telah Allah persiapkan untukku agar bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Aku yang memakai celana dan ‘jilbab gaul’ khas remaja muslim masa kini mulai berganti memakai rok dan jilbab yang lebih ku lebarkan. Aku mulai belajar ikut segala kegiatan kepanitian di kampus, ikut mbak-mbak kos kajian rutin di masjid kampus UGM dan masjid kampus UNY. Perlahan aku mulai mencari tujuan hidupku. Sebenarnya untuk apa aku hidup? Untuk apa aku kuliah? Apa hidup hanya untuk bekerja, memperkaya diri dengan materi dan bersenang-senang? Ternyata tidak, kini mulai ku telusuri bahwa hidup adalah untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Beribadah bukan hanya dalam bentuk sholat, puasa, zakat, haji, sedekah melainkan juga bekerja, belajar, melakukan segala hal dengan niat semata karena Allah, Sang Pemberi Hidup dan Kehidupan agar tidak terjerumus dengan dunia yang semakin hari semakin redup nilai kebenarannya. Tapi, sampai sekarang aku masih mencari dan berusaha memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas diri tiap detik, menit, jam, dan hari karena ada kalany iman naik dan turun maka perlu ‘charger’ dan ‘imun’ yang kuat setiap harinya agar tetap istiqomah dengan niat yang tulus semata karena Allah dalam menjalani hidup.
Alhamdulillah, ibu dan ayahku juga semakin mendukungku di UNY meski sampai sekarang aku belum bisa mempersembahakan sebuah prestasi berarti untuk mereka tapi aku tahu mereka bahagia dengan aku yang sekarang, putrinya yang sedang berusaha menjadi wanita sholeha meski terkadang banyak lirikan dan pandangan orang yang menyangka aku ikut aliran sesat, jilbabnya kegedean atau sok suci dan sok muslim, inilah aku, aku yang tak malu menunjukkan bahwa aku adalah seoranga muslimah. Meski berjilbab kita juga masih bisa bermode kok, asal sesuai syariat dan aturan Allah.
Tiada henti ku syukuri, aku bisa masuk dan mengukir masa depanku di FMIPA UNY, di kos yang sarat pelajaran dan orang-orang teladan. Di sini aku mendapat pengetahuan yang begitu berarti bahwa hadiah dan prestasi terindah untuk ibu dan ayah adalah dengan aku menghafal al-Qur’an. Karena saat aku bisa menghafal al-Qur’an, Allah akan memakaikan mahkota yang begitu indah pada ibu dan ayah yang kelak membuat mereka terlihat bersinar saat berkumpul di padang mahsyar. Prestasi inilah yang ingin ku hadiahkan untukmu, Ibu, Ayah. “Aku mungkin tak bisa mempersembahkan STIS, STAN atau berbagai medali-medali dan penghargaan lain. Tapi, aku akan berusaha memperbaiki diri menjadi wanita sholeha agar kelak aku bisa mendo’akan, mu, ibu, ayah. Karena hanya doa anak yang sholeh yang akan dikabulkan oleh Allah untuk orang tuanya. Dan aku akan berusaha menghafal al-Qur’an, meski sulit dan butuh perjuangan dan kesungguhan tapi aku akan berusaha agar kelak ibu dan ayah mendapat penghargaan mahkota terindah dari Allah.” Janjiku yang terucap dengan iringan basmallah dalam hati.


BY: AZZ

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih