19
tahun yang lalu dibalik kerasnya alunan
ayat suci dari surau sederhana, tangisku pecah untuk pertama kalinya. Aku tidak
memahami apa makna tangisan tersebut. Mungkin aku merasa bahagia karena
akhirnya aku bisa melewati satu tahapan dalam kehidupanku dan menuju ke dunia
yang terang. Ataukah tangisan itu adalah kesedihanku karena aku sudah terlepas
dari rahim bunda yang selama 9 bulan menjaga dan melindungiku dari dunia luar
yang orang bilang penuh kamuflase dan fana. Tetapi dibalik itu semua
orang-orang terdekatku merasa sangat bahagia atas kedatanganku. Aku anak
pertama di keluargaku dan menjadi satu-satunya hingga saaat ini. “Ulfi”, begitu
ayah memanggilku. Beliau memberiku nama Andang Ulfiyatul Khotimah dengan
harapan kelak aku menjadi sesosok wanita yang mampu menyelesaikan seribu
lembaga dengan baik. Dan saat ini aku memahami lembaga yang dimaksud ayahku
adalah tantangan, ujian, cobaan serta pengalaman-pengalaman dalam hidupku.
Aku
tumbuh seperti anak pada umumnya. Sejak kecil aku diajarkan banyak hal oleh
orang tuaku. Pelajaran-pelajaran akademik dasar telah diajarkan oleh orang tuaku
setiap hari. Belajar berhitung, membaca, menyanyi dan yang paling penting
adalah belajar agama. Aku percaya, anak kecil akan mampu mencerna dan mengingat
apa yang diberikan dengan mudah. Dalam kesempatan emas tersebut orang tuaku
mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Aku sadar kita hidup tidak sendiri
tetapi selalu berdampingan dengan orang lain dimanapun kita berada. Aku selalu
diajarkan untuk menyapa orang-orang didekatku. Aku juga diajarkan untuk selalu
sopan dan menghormati orang yang lebih tua. Walau aku waktu itu masih kecil
tetapi orang tuaaku berfikir akan lebih baik jika mengajarkan kebaikan dimulai
dari dini.
Atas
bimbingan orangtuaku, aku mulai banyak belajar dan belajar. Aku suka belajar
terutama untuk memperdalam pengetahuanku tentang agama. Sejak umur tiga tahun
aku mulai diajarkan untuk solat walau hanya gerakan-gerakan saja. Saat aku
sudah bisa membaca, mereka tidak lupa mengajariku untuk mengaji dan melengkapi
hafalan solat. Walau pada saat itu aku tak tahu apa gunanya mengaji dan solat
untuk hidupku. Dengan ketekunanku dan kesabaran orangtua, aku sudah mahir
membaca al Quran sejak kelas 1 SD. Setiap minggu aku diajak bunda untuk pergi
arisan yang dirangkai dengan yasinan serta pengajian sederhana. Aku terbiasa
hidup di lingkungan yang benar-benar menjunjung tinggi etika dan agama.
Aku
merasa beruntung dan selalu bersyukur memiliki orang tua yang selalu
memperhatikan, membimbing dan menjagaku. Tetapi itu tidak membuatku untuk
bersikap manja. Semua hal tersebut memberiku motivasi untuk rajin belajar dan
beribadah. Prestasiku cukup membanggakan. Dari kelas 1 sampai kelas 6 aku
selalu mendapat peringkat 1 di kelas. Dan mengikuti beberapa lomba seperti
sisiwi teladan tingkat SD. Dan rasanya hidupku begitu bahagia.
Kehidupan
kecilku tidak berhenti hanya disitu saja. Aku punya banyak teman yang
menyayangiku. Kami sering berbagi dalam berbagai hal. Namun tidak semuanya
membuat aku bahagia. Ada sebagian temanku yang tidak suka padaku. Aku tidak
tahu apa sebabnya. Suatu hari Bu Nanik, guru matematika memberi tugas latihan
yang banyak dan harus dikerjakan di sekolah. Selesai atau tidak, buku tidak
boleh dibawa pulang namun dikumpulkan di kelas. Alhamdulillah aku dapat
menyelesaikan dengan baik. Aku pulang dengan perasaan lega karena sudah tidak
ada tugas. Keesokan paginya saat tugas akan dokoreksi buku dikembalikan pada
pemiliknya. Alangkah terkejutnya diriku pada saat itu, tugasku berantakan.
Banyak jawaban yang ditambah digit angkanya sehingga pasti salah bila
dikoreksi. Aku tidak habis fikir siapa yang tega menjahiliku seperti itu. Aku
tidak mau suudzon atas kejadian hari itu, aku segera meneliti satu-persatu
tugas tersebut dan membetulkannya hingga
pada akhirnya ada salah satu temanku yang bilang tentang pelaku kejadian
tersebut. Tapi anehnya aku tidak ambil pusing dan membiarkannya. Sedikitpun
tidak ada rasa dendam pada mereka. Kuanggap itu sebagai ujian bagi hidupku. Aku
selalu memohon dalam doaku untuk diberi kemudahan dalam hari-hariku.
Aku
melanjutkan studi di SMP negeri. Awalnya orang tua menyarankanku untuk
meneruskan di pesantren tetapi aku menolaknya habis-habisan. Aku tidak mau
hidupku diatur jika nanti aku masuk pesantren. Aku ingin hidupku yang biasa
bersama teman-temanku. Sekali lagi Allah menunjukkan kalau orangtuaku sangat
menyayangiku dan mengijinkanku untuk memilih sekolah.
Gejolak
remaja dalam hidupku mulai muncul. Teman-temanku semakin banyak. Aku semakin
suka bermain kesana kemari walau tidak ada tujuan jelas. Kelas 7 prestasi
akademikku masih aman. Namun pada kelas 8, prestasiku merosot walau aku masih
mengikuti lomba-lomba tertentu. Guru-guru banyak yang menyinditku karena hal
tersebut. Namun aku semakin cuek dan tidak peduli. Aku mesrasa kesepian di
rumah karena aku anak tunggal. Selain itu ayah dan bunda sedikit sekali meluangkan
waktu untukku. Aku lebih banyak di luar rumah bersama teman-teman. Karena sibuk
dengan urusanku, solat pun terkadang tidak kulakukan. Kalau di rumah aku
berpura-pura masuk kamar untuk solat, padahal aku hanya tiduran saja. Aku
semakin jauh dengan Allah dan orang tuaku tidak mengetahuinya. Hal tersebut aku
lakukan karena aku merasa dengan solat ataupun tidak, hidupku akan baik-baik
saja.
Suatu
hari aku merasa teman-teman membenciku karena aku dekat dengan salah satu teman
cowok di kelasku. Padahal aku hanya ingin bersahabat dengan semuanya namun ada
yang tidak suka karena kedekatanku tersebut. Mereka menjauhiku dan aku lebih
banyak bergaul dengan teman cowok di kelas. Jujur aku merasa sedih dan sangat
kesepian Pada saat seperti itu aku merasa Allah tidak menyayangiku. Aku
benar-benar merasa sendiri. Mungkin orangtuaku tidak mengetahui hal tersebut
karena aku tidak bercerita. Aku takut kalau aku dimarahi. Apalagi waktu itu aku
sudah mengenal pacaran. Entahlah aku merasa membutuhkannya. Aku tahu ibu pasti marah
besar kalau tahu aku pacaran. Aku jarang bercerita pada orangtua dan hubungan
kami sedikit lebih jauh.
Saat
kelulusan SMP nilaiku bagus dan membanggakan. Tetapi aku masih saja melupakan
Allah. Aku masuk SMA favorit di kabupaten dengan mudah. Aku semakin malas
belajar karena aku merasa sudah pintar. Masalah dalam hidupku kembali muncul,
di rumah ayah dan bunda sering bertengkar. Aku tidak tahu apa masalahnya.
Sampai pada suatu saat aku tahu ayahku selingkuh, namun aku tidak tega
mengatakan semua itu pada bunda. Aku menyimpannya sendiri dan semakin hari aku
merasa benci pada ayahku. Aku memutuskan untuk kos saja di dekat sekolah. Aku
berharap dengan begitu aku akan melupakan masalah-masalah tersebut namun
ternyata tidak. Kebencianku semakin menjadi saja setelah aku tahu siapa
perempuan yang mengganggu keutuhan keluargaku. Aku tidak dapat mengungkapkan
perasaanku karena terlalu sakit. Lagi-lagi aku berfikir kalau Allah tidak
menyayangiku. Astagfirullahaladzim, aku benar-benar jauh dari Allah. Aku mencoba
menerima keadaan tersebut walau berat. Karena hal tersebut aku tumbuh menjadi
anak yang egois. Aku sering tidak peduli dengan keadaan orang terdekatku.
Aku
lebih suka di kos daripada di rumah. Aku juga merasa malu dengan tetangga yang
mengetahui masalah keluargaku. Aku jarang bercerita dengan orangtua tetapi
lebih suka dan nyaman bercerita dengan sahabat atau teman dekatku. Sampai SMA
aku masih saja dilarang untuk pacaran. Bahkan aku tidak berani untuk mengajak
teman cowok bermain ke rumah. Hidupku semakin tak tentu arah, aku hanya
mengalir bak air di sungai. Hingga suatu hari kesabaranku mungkin telah
berakhir, aku jatuh sakit yang tak jelas sebabnya. Dadaku terasa sesak dengan
semua masalahku. Aku tak kuasa membendung semua hingga badanku tak mampu menumpunya.
Aku jauh dari Allah, jauh sekali. Aku tak mampu terus menanggung hidupku
sendiri. Akhirnya aku mampu mengatakan semua apa yang ada di hatiku kepada
orangtuaku. Aku lega walaupun mungkin itu menyakitkan bagi mereka. Tetapi aku
tahu akhirnya mereka mampu memahamiku. Keadaan berangsur pulih dan lebih baik
namun hubunganku dengan Allah masih saja seperti semula. Aku masih larut dalam
kesedihanku dan terus berusaha sembuh. Badanku semakin ringkih dan lemah. Aku
menjadi orang yang sensitif terhadap segala sesuatu yang datang padaku. Aku
juga lebih sulit untuk percaya dengan orang lain.
Hingga
aku sadar bahwa masih ada sahabatku yang selalu setia menemaniku dalam keadaan
apapun. Ternyata selama ini aku tidak menyadarinya. Aku mersa menyesal dan
bersalah. Sahabat tetaplah sahabat, dia tak sedikitpun berusaha menjauhiku. Aku
menyayanginya. Aku termenung dalam tangis dan kesedihanku. Apakah semua
masalahku itu karena aku jauh dari Allah? Aku terus mencari jawaban atas
pertanyaan hatiku tersebut. Semakin hari hatiku mulai terbuka dan menyesali
atas semua kesalahanku. Aku tahu Allah selalu menunjukkan kebenaran dan kasih
sayangnya namun aku tidak mempercayainya. Aku salah telah menjauhi Allah
padahal Dia selalu dekat di urat nadiku. Ya Allah ampunilah dosaku.
Semua
pelajaran itu sangat berharga untuk kehidupanku. Aku akan selalu mengingatnya
dan selalu menatap ke depan dengan lebih baik. Aku selalu mengingatMu dalam
sadar dan lelapku.
BY: ULFI
0 komentar:
Posting Komentar