Setiap
orang pada umumnya pasti tau apa itu kejujuran. Kejujuran menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) belum aku ketahui sampai saat ini, akan tetapi tiap
orang dapat mendefinisikan dengan fersinya masing – masing. Setiap orang dapat
mendefinisikan kejujuran karena tahu. Selain itu karena pada dasarnya sebelum
lahir, Tuhan telah memberikan nilai – nilai dasar pada kita, dimana di dalamnya
juga termasuk nilai kejujuran. Akan tetapi menurutku, definisi kejujuran dalam
kenyataan tak semudah mengungkapkan dan mendefinisikannya dalam sebuah kata.
Menurutku tidak setiap orang dapat mengidentifikasikan tentang salah satu nilai
tersebut, karena untuk benar – benar memperoleh definisi kejujuran dalam
kehidupan memakan waktu yang amat lama dan panjang, serta beberapa pengalaman
yang mungkin dapat membuat kita mengerti akan definisi kejujuran. Mengenai
kejujuran aku memiliki pengelaman bagaimana hidup dapat memunculkan kejujuran
dalam diriku, walau nilai itu belum muncul seutuhnya.
Berawal
dari aku kecil meski belum aku mengerti apa itu hidup, bahkan aku belum tahu
siapa aku, orang tua ku selalu mengajarkan dan menerapkan nilai – nilai dasar.
Mulai nilai ketaan beragama, menghormati kebhineka tunggal ika, dan nilai yang
lain. Salah satunya kejujuran. Sadar atau tidak tapi nilai itu telah aku terima
sejak sebelum aku mengenyam pendidikan formal. Hal itu diterapkan orang tua saat
aku akan pergi, entah pergi dengan keluarga atau dengan orang lain, ataupun
pergi sendiri, entah perginya jauh atau dekat, orang tua aku selalu mengajarkan
untuk berpamitan, paling tidak agar bapak dan ibu tenang begitu alasannya dulu.
Saat minta uang jajan, entah sedikit ataupun banyak, penting atau tidak barang
yang akan dibeli, akan tetapi bapak dan ibu selalu mengajarkan untuk meminta
dan menunjukkan barang tersebut.
Mulai
mengenyam sekolah dasar aku hanya mengerti bahwa kejujuran berarti, tidak berbohong
kepada orang lain, tentang kenyataan yang ada. Mungkin secara umum hal itu
benar, akan tetapi setelah berumur 9th,
kejujuran tak lagi selurus dan segamblang itu dimata ku. Apalagi setelah
melihat orang – orang yang naif, dan tak tulus. Mungkin sakit kemunafikan itu
terasa saat orang yang kita sayangi mulai berbohong dan munafik pada kita. Di
kelas empat, entah kenapa teman – teman jauh padaku dan dekat hanya saat butuh
aku. Meski hal itu tak berlangsung lama hal itu cukup untuk menciptakan segores
luka dan black label di mataku tentang orang – orang dan para wanita.
Hal
yang sama pun terulang kembali saat aku duduk dibangku kelas 6. Mungkin terlalu
polosnya aku atau entah teman – temanku yang terlalu dewasa. Saat itu aku
dijauhi sebagian perempuan di kelasku hanya karena menerangkan tentang
mensturasi kepada anak laki – laki di kelas. Sampai saat ini aku masih
berfikir, apa salahnya menjelaskan siklus mensturasi kepada seorang laki –
laki, bukankah di pelajaran IPA kita mendapatkannya, tapi hanya hal sepele itu
aku dimusuhi lagi.
Perasaan tidak ada yang salah, tapi meski
begitu aku tetap penasaran ,karena masalah itu sampai dibawa ke orang tua siswi
tersebut, karena salah satu siswi saat itu ada yang merasa tersindir dengan
penjelasanku kepada anak laki – laki itu, hingga wali kelas sampai menjelaskan
hal yang sama. Meski masalah sudah lewat beberapa minggu, tapi ejekan dan
sindiran mereka masih kudengar. Pandanganku tentang kejujuran dan pertemanan
kadang membuatku geram. Sampai – sampai saat itu aku ingin segera lulus dan
pergi dari teman – teman munafik yang
hanya melihat orang kaya dan hanya melihatku saat mereka butuh aku.
Karena
terlalu penasaran dengan sebab aku disindir, aku pun bertanya pada satu –
satunya teman yang kupercaya saat itu dan aku menemukan jawabannya, walaupun
sampai sekarang aku juga belum mantab atas jawaban yang aku terima. Katanya,
hal yang ku lakukan itu memalukan dan tabu, tapi jawaban darinya membuatku
berpikir apa yang memalukan, apa yang tabu, pelajaran kok memalukan dan tabu.
Meskipun begitu waktu berlalu dan masalahpun berganti lagi dan semakin ada –
ada saja menurutku.
Waktu
itu aku masih duduk di kelas 6, guru matematikaku sedang bertugas di luar
sekolah. Pelajaran matematika jadi
dipegang Pak Kepsek, ditengah – tengah
pelajaran keseyanganku yang tiba – tiba menjadi susah bagiku, saat itu suara
aungan, bukan aungan tapi suara yang seperti suara sapi lebih tepatnya, sangat
keras terdengar dari belakang. Dan tiba – tiba bok…semua jadi panik, panik,
panik… bagaimana tidak? tiba – tiba seorang temanku yang duduk tepat
dibelakangku jatuh dan membanting – bantingkan kepala sambil mulutnya menganga
lebar dan mengeluarkan busa yang cukup banyak. What must I do???
Setelah beberapa hari, diketahui bahwa temanku
ayan alias epilepsy. Ayan atau epilepsi adalah penyakit saraf menahun yang
menimbulkan serangan mendadak berulang-ulang tak beralasan hal itu dapat
terhjadi karena emosi yang berlebihan. Dan menurut ceritanya kepadaku salah
penyebab emosinya adalah kata – kata yang dipendam di hatinya untuk salah seorang
anggota keluarganya, selain itu juga karena teman sebangkunya yang sejak awal
terlihat tidak suka dengannya. Tapi yang aku herankan kenapa dia tidak jujur
saja kepada teman sebangku dan keluarganya???. Alsannya hanya dia dan Tuhan
yang tau.
Saat
dan setelah kelas 6, definisi kejujuran tak lagi segamblang dulu, akan tetapi
kejujuran adalah pengungkapan hal seperti kenyataan dan ada beberapa hal yang
tidak boleh diungkapan, yaitu hal yang
tabu dan yang tidak menguntungkan untuk kita.
Setelah
lulus aku masuk SMP, disitulah aku mengetahui hal yang lebih mengenai perbedaan laki – laki dan perempuan, dan hal
– hal yang memalukan atau tabu di antara keduanya. Di SMP juga aku juga baru
mengenal apa itu cinta dan mencintai, tak sekedar pacaran, tapi juga hal – hal
yang mungkin lebih tabu dan memalukan dari menjelaskan mensturasi kepada
seorang laki - laki. Padahal untuk anak sekarang itu biasa. Mungkin karena aku
belum pernah melihat dan mendengar hal yang lebih tabu dan memalukan dari itu.
Sampai – sampai hal yang paling anti untukku saat itu, yaitu cara berdandan
agar menarik cowok, cara berpenampilan, Masyaallah lah yang pasti.
Kadang
saat itu aku bertanya dalam hati apa cewek itu seribet itu dan semunafik itu.
Tak bisakah mereka jujur pada dirinya dan lingkungannya. Bukankah mereka itu
tetap cantik meski dengan rok utuh dan baju longgar. Tanpa make up berlebihan
dan cara berjalan mereka yang biasa. Tapi saat kuliah aku malah jadi seperti
mereka, meski tidak separah, aku memikirkan tampilan, dan tidak menjadi diriku.
Ampun… ya Rabb, semoga aku segera sadar dan menjadi diriku lagi.
Di
SMP aku menjadi lebih ragu atas definisiku tentang kejujuran. Sebenarnya kejujuran itu apa? mengapa ada seorang yang
begitu gamblang mengatakan hal – hal tentang dirinya, termasuk hal yang
memalukan dan tidak menguntungkan sama sekalipun untuk dirinya. Tentang
hubungannya dengan pacarnya, yang menurutku tidak pantas untuk diceritakan.
Tetapi hal itu tidak begitu ku pedulikan, jalan sajalah asal aku tidak
bermasalah itu lebih penting.
Di
tengah perjalanan menuju gejolak remaja dan kedewasaan, tiba – tiba ada lagi
teman yang tingkahnya juga aneh. Dia sering berbicara sesuai angannya dan tidak
sesuai kenyataan. Tapi pengalaman di sekolah dasar membuatku tak lagi terkejut
tentang kemunafikan. Meski begitu aku
tetap berteman dekat dengannya, dia juga yang sering meminjami aku komik atau
novel. Dan dari cerita – cerita fiktif itu hal yang memalukan jadi biasa.
Selain itu cerita – cerita fiksi itu mulai merubahku dan aku mulai berangan –
angan. Akan tetapi tiba – tiba ada seorang teman yang kata – katanya begitu
menampar jiwaku, hingga aku sadar tentang hal yang ku lakukan salah dan ku tau
aku mulai tak jujur dengan diriku.
Maksud
kata menampar jiwa adalah kata – katanya sampai ke menggunjangkan hati, kalau
kata orang jawa nyenggol nyowo.
Alhamdulillah sampai sekarang tamparan itu belum hilang bekasnya sehingga aku
tetap menjadi diriku walau tidak lagi seutuhnya, akan tetapi karena tamparan
kata – katanya itu pula jilbab masih menempel di kepalaku sampai saat ini.
Walau tidak sebesar dan selonggar muslimah – muslimah yang sering aku lihat di
Rohis dan di UNY. Meski penampilanku belum seperti yang ku inginkan, tapi
setidaknya ada yang nyaman dengan penampilanku. Selain itu tamparan jiwa dari
sahabatku juga menyadarkanku tentang adanya Tuhan yang selalu ada bersamaku.
Menginjak
SMA masalah semakin mengada – ada dan semakin rumit, makin bingung bagaimana
cara memecahkan, bagaimana cara membenarkan agar masalah itu tak semakin kusut,
tanpa harus menemukan ujungnya. SMA bukan lah masalah fisik saja yang muncul
tapi hal – hal goib pun ikut mewarnai. Kejujuran semakin sulit ditemukan di
masa – masa ini.
Masa
di mana dosa – dosa besar menyapa dan setan – setan menggoda. Hanya orang –
orang yang imannya tangguh yang bisa melewati. Tapi iman itu bagai air laut,
kadang ada pasang, kadang ada pula surut. Dan saat surut itulah masa yang
teramat sulit untuk kembali jujur. Karena dos itu bagai es di tengah teriknya
mentari, terasa enak di awal dan terasa menyakitkan di akhir.
Di
SMA aku termasuk anak yang kurang pandai, cupu,dan masalah wajah jangan
ditanya, masih pas – pasan, masalah harta juga tak bisa dipamerkan. Apalagi
semenjak bapak sakit – sakitan. Awal SMA masalah goib mulai kukenal. Awalnya
karena pengobatan bapak pada pengobatan alternative. Bunga, kemenyan, dupa hal
biasa yang ku lihat, kata orang pinter bapak diguna – guna, akan tetapi uang
sudah habis banyak bapak belum juga pulih, tapi malah parah. Ternyata bapak
ditipu, bapak sakit jantung bukan diguna – guna. Bapak hanya sembuh karena
badan bapak dimasukan jin oleh orang pinter tadi. Sebelnya….. pengen rasanya
tak bunuh orang itu, dasar orang pinter nipu.
Akhirnya
bapak diberitahu perlahan oleh saudara, dan bapak mau ke dokter. Bapak di fonis
kelainan jantung. Akan tetapi salah seorang dokter di RS negeri atau RSUD juga
mempermainkan bapak, bapak seperti di jadikan kelinci percobaan, sampai –
sampai badan bapak mengembung dan berwarna agak biru atau biasa disebut bidhu-bidhu. Ditipu lagi, ampun Tuhan.
Di
waktu yang sama Tuhan mengirimkan aku dengan dua orang sahabat yang selalu
mewarnai hariku dan membuatku sedikit lupa akan emosiku. Awalnya kami adalah
orang yang saling membenci, tapi entah apa yang menyatukan kami. Tapi begitulah
adanya,kami anak – anak yang tidak peduli sekitar, akan tetapi mulai dari
sinilah aku belajar banyak mengenai kejujuran.
Tidak
terasa kami mulai tau masing – masing
dari kami, asal, orang tua, dan segala masalah diantara kami bertiga. Kami
bertiga orang yang rindu rumah, tapi tak suka di rumah. Tiap kali di rumah
sebutan kami sama MASALAH. Hal tersebut membuat kami jarang di rumah dan hanya
menghabiskan waktu di sekolah, meski rindu sungguh kami dengan rumah dan orang
– orang rumah, tapi kami tidak mau membuat orang rumah tidak nyaman.
Kami
merupakan sahabat yang baru kenal selama 3 bulan, tapi persahabatan kami begitu
erat, sampai masalah yang tidak diketahui orang rumah pada diri kami, kami
bertiga tau. Salah satu sahabatku bisa melihet hal – hal goib dan setiap solat,
dia kumat, hal itu diperparah dengan mag kronisnya. Orang di rumahnya tidak ada
yang tau, dia takut membuat orang tuanya khawatir.
Suatu
hari penyakitnya bertambah parah, hingga dia sering tidak sadarkan diri, karena
terlalu kuatir aku berdebat panjang dengan ke duanya, hingga 6 bulan kulalui
tanpa menatap dan menyapanya. Meskipun setiap hari aku tetap menanyakan
keadaanya dengan memancing cerita dari sahabatku yang satunya.
Tak
terasa setelah 6 bulan sakit bapak bertambah parah. Dan pada hari jumat setelah
beberapa hari di ICU sakit bapak diangkat oleh Tuhan, bapak tidak sakit lagi.
Meski bapak sembuh, tapi air dari mata ini tidak lagi dapat berhenti, apalagi
setiap melihat ibu. Tanpa kusadari aku telah lama tidak jujur kepada bapak dan
diriku, aku rindu sebagai masalah dan aku rindu nasehat – nasehatnya. Setelah
beberapa bulan hati ini mulai mencari teman yang nyata untuk berkeluh – kesah.
Teman yang selalu ada dan selalu mengingatkanku akan adanya Tuhan/Allah.
Setelah
beberapa bulan berjalan dengan sahabat, aku tersadar oleh tangisan hati,
ternyata teman yang kupilih salah. Dia hanya orang yang tidak pernah mendengar
keluhku, dia hanya penipu kejam yang tidak berperasaan. Melupakannya adalah
harapanku yang tidak akan kusesali.
Semenjak
bapak berpulang ke rahmattullah, aku kembali dekat dengan sahabatku tapi tidak
sedekat dulu, apalagi sejak ada teman baru,aku jadi semakin jauh. Meski begitu
kami bertiga tetap berusaha selalu ada untuk satu dengan yang lain. Setelah
berpisah dengan teman baru, aku selalu dihibur oleh mereka.
Sudah
lama berpisah, tentu banyak hal yang berbeda. Semenjak itu aku menjadi lebih
sering menghabiskan waktu di rumah dan semenjak itu pula sampai sekarang aku
terlalu takut untuk percaya dengan orang lain, dan suudzon dengan orang sering kurasakan.
Akan tetapi karena hal itu pula aku lebih
bisa menghargai kejujuran dan bagiku kejujuran nomor satu. Sehingga
sebisa mungkin aku akan berkata jujur. Apapun keadaannya, meski pahit atau
manis untuk diungkapkan,kejujuran itu fardu ‘ain hukumnya kecuali mengenai aib
atau fitnah bagi saudara kita. Pengecualian juga berlaku saat ujian
hehehehehehe…
Kini
ku sadari suatu nilai tak akan berarti apa – apa tanpa nilai yang lain, dank
arena kesadaranku akan hal itu, kini aku memiliki kejujuran yang tak sama
dengan yang dulu. Definisi kejujuran bagiku adalah hal paling berharga saat kau
menjalin suatu hubungan atau ikatan yang harus selalu kita pijak sebagai dasar
hubungan itu. Karena hubungan antara manusia, apalagi orang tua tak pernah ada
ujung, sehingga jangan sekali – kali berhenti untuk jujur kepada orang tua dan
orang – orang sekitar, akan tetapi jangan abaikan nilai yang lain, sehingga
kita hanya mengutamakan kejujuran. Kejujurang memang penting, kejujuran itu
memang perlu dan harus diungkapkan kecuali hal itu aib bagi saudara – saudara
kita yang satu nenek moyang dengan kita atau hal – hal yang belum terbukti
kebenarannya alias fitnah.
BY: DK
0 komentar:
Posting Komentar