Ini adalah tentang kisahku,
seorang gadis bertubuh gendut dengan paras biasa-biasa saja dan juga kemampuan
ala kadarnya. Sebut saja aku dengan sebutan “ndut”, itu yang sering digunakan dia untuk memanggilku. Entah karena perawakanku yang memang sedikit
agak gendut atau memang itu nama khusus yang diberikan olehnya padaku dengan
alasan lain. Berawal dari sebuah laboratorium, praktikum, dan juga asistensi aku mulai mengenalnya. Seseorang itu pada awalnya ku anggap
biasa-biasa saja. Ya.. hanya sebatas asisten praktikum dan juga praktikan saja.
Hari demi hari terlewati seperti biasa, tak ada yang istimewa. Setiap hari
kamis selama satu semester, pukul 7 sampai 9 pagi di lab kimia analisis aku pasti
bertemu denganya dan pasti aku sering mengomel padanya gara-gara dia sering
terlambat dan tak pernah membuat laporan sementara.
Satu semester hampir lewat
begitu saja,tak ada yang istimewa. Suatu ketika, ada nomor asing menelfonku
untuk meminjam sebuah buku. Dialah dia, entah kebetulan atau memang rencana
Tuhan ternyata kos ku dan kosnya hanya berbeda gang, cukup melangkah lewat
pintu belakang aku bisa mencapai kosnya satu menit kemudian. Sejak telefon
pertama itulah, aku tahu nomer handphonenya.
Tak Cuma lewat sms, kita pun sering chatting
lewat facebook saat itu. Alih-alih
pinjam buku, laptop dan juga masalah IT lainya sebagai modus untuk PDKT. Masih
teringat dengan jelas kapan pertama kali aku keluar denganya. Saat itu aku tak
punya kendaraan motor begitupun dia, jadi kita bersepeda keliling kota jogja
sambil sejenak menonton stand up comedy
di suatu acara festival kebudayaan yogyakarta. Kesanku saat itu aku senang, ya
senang karena tak bisa ku pungkiri benih benih rasa itu sudah muncul dan
seperti tersiram air hingga tubuh menjadi subur.
Suatu ketika aku benar
benar ingin tahu tentang perasaanya padaku, tentang bagaimana dia menganggap
aku selama ini. aku memberanikan diri untuk bertanya secara langsung hal itu.
Malam itu, 26 Mei 2013 aku mengajak dia untuk makan disebuah tempat dimana
pemandangan lampu-lampu malam yang berkelap-kelip tersebar seperti bintang.
Saat ditempat itu, bibirku kaku tak mampu berucap pertanyaan itu, justru ajakan
untuk pulang yang aku ucapkan. Saat dijalan pulang aku mengumpulkan tenagaku
bak mau berperang untuk menanyakan hal itu. Dan sungguh tanganku gemetar,
bibirku tak bisa menjawab apapun ketika dia menjawab bahwa dia hanya
menganggapku sebagai teman selama ini. aku pilu, ternyata selama ini aku hanya
mengait-ngaitkan semua hal di fikiranku hanya agar aku mendapat jawaban bahwa
dia memiliki perasaan padaku yang sebenarnya tak pernah ia miliki. Aku ingin
menangis, tapi aku tak bisa, hanya diam dan bertanya dalam hati, “setelah ini bagaimana hubungan kami?”
Setelah kejadian itu, aku
merasa keadaan sudah jauh berbeda. Mungkin karena dia tak enak hati padaku atas
hal itu. Aku mengajak dia bicara di rektorat kampus kami. Aku memohon padanya
untuk tak berubah sikap gara-gara pertanyaaku kemarin. Dia menjelaskan padaku
alasan kenapa dia tidak pacaran saat ini,“janji”. Saat itu aku memutuskan diri
untuk menunggu ketika memang masih ada harapan untuku suatu saat nanti tapi dia
tak bisa berjanji. Perlahan aku mulai mundur, mencoba membiasakan diri,
membunuh setiap kerinduan yang muncul dalam hati tapi aku tak mampu dan
bayangnya masih tetap selalu ada. Selang beerapa hari, entah karena rasa
kehilangan atau apalah, aku tahu sebuah pernyataan darinya bahhwa dia memiliki
rasa yang sama denganku, ya rasa sayang. Harapan itu muncul kembali, seperti
bunga yang sudah layu dan tersiram air hujan kembali. Aku bangkit dan aku
bertahan. Meski tanpa status kami berjalan, ya bukan pacaran tapi hanya sebagai
teman, teman yang lebih dari sekedar teman. Teman yang memiliki komitmen untuk
saliing menjaga hati satu sama lain, terbuka dan saling menjaga komunikasi. Suka
duka kami lewati bersama. Masalah dalam sebuah hubungan itu pasti adanya. Tapi
masalah kami hanya selalu berkutat pada komunikasi. Kami memang memiliki sisi
yang sedikit berbeda. Aku yang suka jalan-jalan dan dia yang lebih suka berada
di dalam kos. Aku yang suka bawel dan ingin keterbukaan dan dia yang lebih suka
memendamnya sendiri. Perbedaan seharusnya buukan menjadi alasan untuk memecahkan
tetapi untuk saling memahami. Misalnya ketika aku lebih suka main dan dia yang
lebih suka di kos. Tak harus selamanya kita pergi main jauh, mungkin bisa 1
bulan sekali dan selebihnya hanya
sekedar bertemu atau main di kos. Jadi biasa saling menyeimbangkan satu sama
lain.
Setelah lima bulan
berjalan, rasanya ada yang berbeda. Entah hanya fikiranku saja atau apalah. Aku
serasa didiamkan dan tak ada kabar. Setiap orang pasti akan memiliki titik
kejenuhan dan bodohnya aku, aku malah menjejalinya dengan pertanyaan pertanyaan
konyol yang pada akhirnya membuat semuanya menjadi berantakan. Pertanyaan
pertanyaan apakah dia masih sayang aku?
Apakah dia masih ingin aku bertahan? Apakah dia sudah merasa tak nyaman? Dan
pertanyaan pertanyaan lain yang akhirnya berujuung pada sebuah jawaban darinya
untuk aku tak usah bertahan. Mungkin
saat itu kami sama sama tak bisa berfikir logis. Mungkin saat itu emosi yang
sudah mempengaruhi hatiku dan dia. Entah itu benar benar yang diinginkanya atau
bukan. Saat itu aku berfikir mungkin dia
sudah tak nyaman denganku, merasa tertekan denganku dan memintaku untuk
melepaskanya. Akupun mengiyakan ucapanya untuk mundur meeskipun saat itu hatiku
berontak ingin tetap bertahan tapi apa daya jika dia yang menginginkanya.
Apalagi setelah aku tahu bahwa kun facebooknya
diprivasi dariku. Entah dengan alasan apa akupun tak tau. Aku tak pernah
bertanya tentang akun facebook itu
karena aku takut suasana akan menjadi keruh dan aku tak bisa mengontrol emosiku
meskipun sampai saat ini aku masih bertanya-tanya.
Sejak saat itu, semua
berubah total. Janji janji kami dulu seperti terhempas angin besar yang
berserakan tak bersisa. Bagaimana caraku memperbaikinya? Semakin aku sering sms
dia maka semakin besar kemungkinan dia untuk tidak membalas smsku. Semakin
sering aku sms dia, semakin besar kemungkinan dia menjadi risih padaku,
menghindariku, dan menjauhiku. Aku hanya bisa diam, menunggu semuanya menjadi
tenang. Tiada hari yang aku lewati tanpa memikirkanya, bahkan dia sering hadir
dalam mimpiku. Membiasakan diri untuk terbiasa tanpa hadirnya itu membuatku
semakin ingat padanya. Setiap kenangan muncul satu demi satu. Tak ada kabar
darinya sekarang, dan itu membuatku kawatir. Apa dia baik baik saja?. Aku berharap semua ini hanya mimpi dan
ketika aku terbangun aku masih bersama dia. Apa
kesempatan itu masih ada? Kesempatan untuk kami lebih saling memahami lagi,
kesempatan bagi kami untuk melewati saat saat terakhir kami menuju kelulusan
dan terhapusnya tembok “janji” itu. Kesempatan untuk melewati masa masa senang
dan sedih bersama. Kesempatan untuk lebih mengenal satu sam lain. Kesempatan
untuk menyatukan hati kami kembali. Masihkah
ada benih rasa didalam hatinya yang masih bisa tumbuh subur untuku?
Yogyakarta, 10 November 2013 (DFZ)
0 komentar:
Posting Komentar