JUJUR, AKU INGIN MEMELUK MAMA



Aku anak kedua dari tiga bersaudara dan anak perempuan pertama dalam keluargaku. Keluarga kecil yang dibina dengan baik dan menanamkan kedisiplinan sejak dini. Aku dilahirkan 19 tahun yang lalu di rumah sederhana yang menjadi saksi bisu perjalanan kehidupan keluarga kami. Aku lahir saat usia kandungan mamaku sekitar 10 bulan 10 hari. Terlalu lama aku berada di alam rahim sehingga berbagai upaya telah dilakukan agar aku segera bernapas, menghirup udara bebas di bumi ini. Lahirnya aku penuh perjuangan bagi mama. Memang saat itu bukan pertama kalinya mama mengalami apa yang dinamakan perang sabil, perang yang mempertaruhkan nyawaku dan mama. Tepat pukul 01.00 WIB, waktu dimana kebanyakan orang sedang tertidur lelap dan menjelajahi dunia mimpi, memastikan aku tidak akan keluar pagi itu karena tak ada gejala-gejala aku mau lahir. Namun, Tuhan memberikan takdirnya bahwa hari itu aku lahir ke dunia, tanpa bantuan ahli medis.
Aku layaknya anak-anak normal yang lain. Keseharianku waktu kecil dilalui dengan bermain. Tetapi untuk ukuran anak perempuan, aku bisa dikatakan cukup nakal. Hampir setiap hari aku ‘berkelahi’ dengan anak laki-laki tetangga. Sang orang tua pun kerap geram kepadaku saat melihat anak laki-lakinya menangis. Sampai saat itu, aku pernah dijauhi teman-teman dan akhirnya hanya berdiam diri di rumah seakan dikurung. Aku sempat berjanji untuk selalu menurut dengan orang tua, namun terlalu berat berubah dengan cepat.
Melihat tingkahku yang sering menjengkelkan, mama selalu terlihat tegar untuk menghadapi kenakalanku. Dengan caranya sendiri yang bermaksud membuatku jera, seperti memarahiku, memukul, menjewer, dan lainnya, membuatku salah paham dan menganggap bahwa mama sama ssekali tidak sayang padaku. Rasa sayangku pun pada mama berubah jadi benci dan sering menganggap kalau mama adalah jelmaan dari nenek sihir. Di sisi lain, ternyata mama menangis setelah memperlakukan aku demikian. Mungkin menyesal, merasa bersalah, atau lelah menghadapiku. Namun aku tak peduli karena masih menyimpan rasa benci itu.

Pengorbanan mama tidak hanya sampai disitu. Saat aku mulai harus bertindak menentukan masa depanku, berawal dari lulus SD dan  menentukan SMP, mama yang menemaniku dihari pertama mendaftar. Antrian yang begitu panjang, membuatku malas menunggu dan ingin segera pulang. Tapi, mama tetap semangat menunggu giliranku detik demi detik hingga waktunya pun tiba dan selesai lah mama mendaftarkanku. Hari selanjutnya adalah pemantauan hasil pendaftaran, sampai 5 hari mendatang. Aku sama sekali tak khawatir apakah aku dapat masuk sekolah favorit itu atau tidak. Padahal, nilai ujianku pas-pasan. Mama selalu datang ke SMP itu untuk sekedar melihat namaku apakah masih ada di dalam daftar. Dari jam 7 sampai menjelang dzuhur tiap harinya mama menunggu dengan sabar sedangkan aku duduk manis di rumah sambil santai-santai tanpa memikirkan hal itu sedikitpun. Hari terakhir pengumuman, mama membawa kabar gembira bahwa aku diterima, tetapi aku tetap tidak menyadari perjuangan mama selama itu. Aku hanya menganggap itu memang tugas seorang ibu, padahal tidak semua ibu mau melakukan hal itu. Ketika pendaftaran SMA pun seperti itu. Tidak ada perubahan. Padahal, logikanya aku sudah semakin besar dan mengerti. Seharusnya bisa berusaha sendiri, tanpa selalu merepotkan mama. Selama bersekolah di SMA, tiap pagi mama mengantarku, tiap siang menjemputku. Sering aku marah-marah pada mama jika terlalu lama mengantarkan dan menjemputku. Jika dipikir-pikir, mama seperti supirku saja. Namun tetap, aku tak menyadarinya. Ucapan terimakasih, bahkan bersalaman dan mencium tangan mama pun tidak pernah aku lakukan. Dibalik semua ini, ternyata tersirat bahwa mama selalu ada buatku.
Masa SMA pun telah kulalui. Perpisahan SMA adalah moment yang paling dinantikan oleh kebanyakan siswa. Ketika melihat teman-teman yang didampingi orang tua dinyatakan lulus. Rona bahagia terpancar dari setiap wajah para orang tua, termasuk mamaku. Mereka memeluk erat orang tua mereka masing-masing, namun berbeda denganku yang bersikap biasa saja. Mungkin mama ingin seperti mereka, dipeluk oleh anak tercinta.
Sejak saat itu, aku mulai memikirkan masa depanku. Aku ingin menentukan jadi apa nantinya tanpa campur  tangan dari siapapun. Aku berpikir, kalau orang tua ikut menentukan masa depanku, apalagi sampai bertentangan, bisa menjadikan penghalang untuk menuju keinginanku. Menjadi seorang apoteker atau perawat sempat terlintas dipikiranku. Tanpa sepengetahuan orang tua, aku mendaftar di ITB dan UGM untuk mengambil jurusan itu. Mama marah saat tahu apa yang aku lakukan, namun ‘nasi telah menjadi bubur’. Mama akhirnya hanya mendoakanku supaya diberikan yang tebaik. Di sisi lain, mama menginginkan aku uuntuk menjadi guru. Dengan alasan cari aman, agar mama tidak cerewet terus menerus, aku mendaftar di UNY mrengambil Jurusan Pendidikan Kimia. Semua perguruan tinggi yang aku daftar melalui jalur beasiswa, karena mungkin tanpa beasiswa, aku tidak bisa kuliah. Keyakinan mama akhirnya terjawab. Aku hanya diterima di UNY, dan mau tidak mau, aku harus menjalaninya. Mungkin jika saat itu aku tidak menuruti keinginan mama, kini aku belum bisa merasakan jadi mahasiswa.
Mulai masuk kuliah, terpisah dengan orang tua, dan hidup mandiri, dialami setiap mahasiswa yang menuntut ilmu jauh dari rumah. Perpisahan terakhir sebelum mulai kuliah, bagi sebagian orang dimanfaatkan dengan baik karena tidak akan bertemu dengan orang tua untuk beberapa lama. Hampir semua orang yang mengalami perpisahan itu merasa sangat bersedih. Tetapi aku tidak. Tak sedikitpun aku bersedih, apa lagi menangis.
Hari pertama aku tidur di kos dan jauh dari orang tua, aku baru merasakan, betapa berharganya orang tua disamping kita, apalagi mama. Mulai bangun tidur, hingga tidur lagi, di rumah mama yang menyiapkan segalanya, namun sekarang aku harus sendiri. Aku masih belum bisa mengakui sepenuh hati kalau keberadaan mama sangat penting disisiku. Kerap aku ditanya teman-teman, “Kamu kangen ibumu?” Aku langsung menjawab,”Tidak!” Aku merasa, selama uang mengalir untuk memenuhi kebutuhan hidupku, keberadaan mama tidak terlalu penting.
ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang diadakan UNY, aku mengikutinya sesuai jadwal, yaitu pada hari pertama dan kedua bulan Ramadhan. Ramadhan saat itu untuk pertama kalinya aku sahur dan berbuka puasa sendiri. Trining yang dilaksanakan selama 2 hari itu, berisi banyak memotivasi dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan orang tua. Saat itu aku baru sadar, betapa besarnya pengorbanan orang tua, betapa hebatnya beliau dalam menghadapi masalah yang menimpa anak-anaknya penuh kesabaan, kasih sayang yang terus mengalir, dan betapa berharganya orang tua karena kita beruntung masih memiliki mereka, terutama mama.  Mulai saat itu aku kangen mama, papa, kakak, dan adik, terutama mama. Aku menyesal pernah membencinya, menyebutnya nenek sihir, dan mengenggap mama tidak sayang padaku. Rasa kangenku semakin menjadi saat komunikasi dengan orang rumah mulai jarang. Aku ingin cepat pulang. aku ingin tetap tinggal di rumah bersama mama, tetapi tidak bisa. Aku harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu.
Kini aku tidak gengsi lagi untuk mengakui kalau aku butuh mama. Aku merasa kini hidupku mulai hampa tanpa mama. Kadang aku melamun hingga akhirnya menangis karena teringat wajah mama. Aku merasa hanya mama yang dengan ikhlas dan tulus menyayangiku. Apalagi aku tidak mempunyai seorang pacar. Aku memang tidak memikirkan untuk pacaran terlebih dahulu. Selain karena dilarang orang tua, juga aku takut kasih sayangku pada mama yang baru muncul belum lama ini, terbagi dengan pacar.
Hari-hariku saat ini kurasakan begitu lama karena sudah 3 bulan lamanya aku tidak pulang ke rumah. Otomatis aku tidak melihat wajah mama selama itu. Aku hanya berharap nanti saat pulang, aku dapat melihat mama masih sehat dan cantik seperti terakhir aku bertemu. Aku ingin langsung memeluk mama. Melakukan hal yang selama ini belum pernah aku lakukan. Dan aku mulai jujur untuk mengungkapkan rasa penyesalanku, ungkapan terimakasihku, dan mencurahkan kerinduanku. Aku tidak malu dan gengsi lagi akan melakukan hal itu, selagi aku masih bisa melihat mama. “Ooh bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku”, sepenggal lagu yang kini mulai aku sukai. Semoga aku bisa menjadi anak yang membanggakan bagi orang tua. Amin.
(Air mataku bercucuran, teringat mama selama aku menuliskan cerita ini. Banyak kata-kata yang tidak sanggup untuk aku ungkapkan)

BY: DTF

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih