SEKEPING HATI UNTUK SANG PUTERI



Terlahir dengan kesederhanaan memang menyedihkan. Terlahir dengan kekurangan memang memilukan. Tapi terlahir dengan kasih sayang dan kebahagiaan itulah aku. Kemesraan, kehangatan, dan pelukkan dari orang tua selalu ku dapatkan setiap waktu. Tak pernah sepertinya aku merasa sendiri dan tak berkawan. Namun disisi lain terkadang aku merasa hidup ini seakan tak adil. Tampak indah hanya untuk orang-orang tertentu yang berkasta. Sempat berfikir untuk menangis, menyesali akan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya. Namun justru semua itu yang membuatku lebih menghargai hidup dan memaknai sebuah perbedaan. Hidup ini hanya sebuah kamuflase. Ada hitam dan ada putih. Ada saatnya kita kokoh dan ada pula saatnya kita tersungkur.
Pukul 5 pagi. Ku dengar suara ketukan dari balik pintu kamarku yang semakin mengeras. “Tok, tok, tok!” dibarengi dengan suara panggilan seorang wanita yang tak begitu jelas ku dengar. Seolah tak sadar aku pun tak menghiraukannya. Dengan mata yang berat dan badan yang gontai aku teringat sesuatu dalam benakku akan hari ini. Pukul 07.30 terdengar suara lonceng “teng, teng, teng!” Tahukah anda? Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah dasar. Seragam baru yang ku pakai begitu serasi dan menambah kegembiraan ku saat ini. Begitu banyak wajah-wajah asing yang ku temui hari ini. Begitu beragam pasang mata yang ku lihat hari ini. Sungguh bahagia yang ku rasa karena kelak aku akan hidup dengan ilmu yang ku peroleh dari perjalanan awal yang ku torehkan dibangku sekolah ini. Begitu dramatis, di usiaku yang masih dini ini, 6 tahun, ayah dan ibu selalu membimbing dan menasehatiku untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diperoleh serta beliau menanamkan benih-benih nilai keagamaan. Mereka bagaikan lilin-lilin kecil digelapnya jiwaku yang sengaja datang untuk menerangi dan mengisi kekosongan hati dengan nilai-nilai kebhinekaan. Mereka laksana setetes embun pagi digersangnya ragaku dengan sebongkah nilai-nilai spiritual.
Inilah yang menjadikan aku begitu dekat, lekat, dan hangat dengan kedua orang tua ku, terutama sosok wanita yang selalu mengetuk pintu hatiku setiap waktu, Ibu. Waktu demi waktu aku tumbuh bagai kupu-kupu. Bermetamorfosa dengan nilai rohaniah. Dengan hati yang bersih dan jiwa basah beliau mengajarkan aku arti kejujuran dan pentingnya saling menghargai. Tak pernah bosan dan tak pernah berkurang sedikitpun perhatian ibu kepadaku. Dibalik sosok lembutnya yang anggun tersimpan seperca perjuangan untuk memberiku sebuah asupan pendidikan. Meski lelah beliau tak pernah letih untuk mengantarku sekolah, menungguku hingga usai belajar, dan kembali merangkulku untuk pulang. Menyiapkan aku makanan, memasakkan air hangat untuk sekedar mandi, hingga mendongengkan ku dengan cerita-cerita indah dari syurga hingga ku terlelap dipangkuannya, itulah potret yang masih terekam dalam memoriku. Sungguh tak bisa ku balas kasih sayang seorang ibu.
Kala itu hujan di pagi hari, menahan sejenak langkahku untuk beranjak sekolah. Namun naluri seorang ibu kembali dipertaruhkan. Terlihat dari balik rintik hujan beliau keluar dengan sepeda tuanya dan menuntunnya hingga depan teras rumah. Karena hanya sepeda renta itulah yang kami miliki dan menemani hingga saat ini.
“Nak, kemari! Ayo ibu antar ke sekolah?” seketika itu juga dengan polosnya aku naik ke atas sepeda, karena aku telah siap dengan tas kecil yang ku gendong berisi lengkap dengan buku tulis dan pensil.
Dengan tubuh yang gontai beliau mengayuh sepeda sambil meneteskan air mata melewati jalanan yang tergenang air dan menyisir setiap jalanan yang licin. Terkadang beliau menuntun sepedanya dan menjagaku diatas sepeda dengan payung kecilnya. Tak jarang beliau terpeleset, basah kuyup, hingga terlihat kerut kedinginan diwajahnya. Betapa sulitnya hidup yang kurasakan waktu itu. Tak bisa ku bayangkan betapa agungnya kasih ibu. Hingga ku teteskan air mata saat ku tulis kisah ini. Inilah cara beliau mengajari dan mendidikku, dengan cerminan semangat dan usaha yang beliau tunjukkan. Aku sungguh menghargai dan menghormati segala perjuangan beliau hingga ku mati.

Seiring waktu aku tumbuh menjadi seorang laki-laki yang mencoba berbakti kepada orang tua. Begitu banyak perbedaan yang ku peroleh dari sekelilingku. Dan beragam pertanyaan dalam otakku yang belum bisa ku mengerti dan ku pahami, karena kini aku masih berumur 10 tahun. Sosok ibulah yang hanya bisa ku jadikan tempat untuk mengeluh, berbagi, dan menemukan semua misteri yang tak  mampu ku jelaskan. Di kejauhan tampak beliau dari balik renda-renda jendela sedang duduk di kursi kayu di depan teras sendirian, kemudian aku pun mendekatinya dengan sejuta pertanyaan yang hendak ku lontarkan.
“Kok sifat antara teman-temanku yang satu dengan yang lainnya tidak sama ya, Bu?” tanya ku seraya merangkul tubuh beliau yang mulai rapuh.
“Itulah  yang namanya perbedaan, Nak! Justru dengan adanya perbedaan itulah kita bisa saling menghargai dan saling menerima.” Ujar ibu dengan nada yang lembut sekali sambil sesekali membelai rambutku.
Sekarang aku mengerti, mengapa Tuhan memberikan aku teman yang sangat beragam budaya dan cerita, ada suku Jawa, Batak, Padang, dan Lampung. Itu semua agar aku bisa mengahargai dan menghormati kebiasaan serta kepercayaan meraka, sehingga hidup ini menjadi lebih indah dan berwarna dengan adanya perbedaan.
Tak terasa waktu telah mendewasakan aku. Diusia yang telah menginjak umur 15 tahun ini aku hampir lulus dari bangku sekolah menengah pertama. Aku pun mulai disibukkan dengan berbagai aktivitas diluar sekolah. Jam pelajaran di sekolah pun kurasa masih belum cukup untuk menghadapi ujian akhir. Oleh karena itu aku mengikuti berbagai tambahan pelajaran bahkan hingga mengikuti sebuah bimbingan belajar. Semangat belajar ku pun terus ku pacu demi sebuah harapan, yaitu lulus ujian nasional dengan hasil sempurna dan dapat diterima di sekolah tingkat atas favorit. Meskipun kini aku tak banyak memiliki waktu luang, namun disela-sela kesibukan tersebut aku menghabiskannya untuk mendekatkan diri kepada orang tua. Karena merekalah yang selalu mendukung dan menyiapkan segala kebutuhanku untuk hari esok. Hari-hari terasa seperti mengejarku. Tak banyak lagi waktu untuk bermain dan menghabiskan cerita bersama teman-teman. Hingga tiba pada saat yang paling ditakutkan, ujian nasional telah tiba.
Pagi itu aku terbangun diujung sepertiga malam. Aku beranjak dari tempat hangat ku terjaga. Ku singkapkan selimut yang membalut tubuh serta ku bunuh rasa lelah dan ngantuk yang menjerat langkahku untuk menundukkan hati kepada Sang Illahi. Ku letakkan seluruh jiwa ragaku kepada Tuhan. Aku berserah dan memohon untuk hasil yang terbaik. Semoga segala usaha serta semangat belajarku diberkahi oleh-Nya esok pagi. Hanya itulah sepenggal doa yang masih melekat erat diingatan ku hingga hari ini. Ketika pagi menampakkan wajahnya, ku sambut ia dengan senyum yang terindah. Alam pun menerima salamku dengan kicauan merdu burung-burung yang sedang memadu kasih diatas awan. Seketika itu pula udara datang menyapu wajahku dengan lembut seolah merestui langkahku hari ini yang telah bersiap untuk menghadapi ujian akhir. Hanya doalah yang mampu ku panjatkan kala aku menghadapi hari-hari berat itu hingga selesai.
Hidup memang bagai misteri. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok pagi. Seperti aku. Seperti mimpiku. Diusia yang ke 17 tahun ini aku telah memperoleh sebagian mimpi-mimpi indahku. Dan kata-kata inilah yang selalu ku ingat sampai saat ini sebagai bahan bakar penggerak semangatku.
Tindakan memang tidak selamanya membawa kesuksesan, tetapi tidak ada kesuksesan tanpa tindakan. Greg Phillips

Akhirnya aku lulus dari sekolah tingkat pertamaku dengan predikat yang baik dan kini dibangku sekolah tingkat atas pun aku memperoleh jabatan sebagai salah satu ketua ekstrakurikuler. Sebuah posisi yang tak mudah untuk dipertanggungjawabkan. Berawal dari sinilah mimpi-mimpi besarku terus ku tetaskan. Aku memiliki sebuah filosofi, bahwa orang yang tidak memiliki mimpi bagai hidup seperti mayat. Inilah aku sekarang. Aku mulai menatap masa depan dan membentang ribuan harapan. Memiliki sebuah tanggung jawab sebagai pemimpin mengharuskan aku untuk dapat bekerja sama, memiliki komunikasi yang baik dengan anggota, dan mampu menuangkan ide-ide kreatif demi kemajuan tim. Berkat usaha keras dan kerjasama tim aku telah menorehkan sebaris penghargaan serta mampu mengharumkan nama sekolahku. Begitu banyak pelajaran yang ku peroleh dari sini. Arti sahabat, arti cinta, dan arti kekeluargaan. Inilah yang membuatku semakin kuat untuk berdiri sendiri. Semua usaha tak ada yang sia-sia bila kita melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Gapailah yang tinggi karena bintang itu ada di dalam jiwamu. Mimpilah yang mendalam karena setiap mimpi akan menjadi landasan tujuan. Pamela Vaull Starr
Itulah sebait motivasi yang selalu ku tanamkan didalam hati sejak lampau hingga kini aku beranjak dewasa.
            19 tahun, itulah usiaku sekarang, usia yang cukup dewasa untuk seorang laki-laki. Kini saatnya untuk meninggalkan ibu, kerabat, dan kampung tercinta demi meraih mimpi dan harapan. Tak banyak kemampuan yang ku miliki. Berlatarkan kondisi ekonomi yang pas-pasan dan juga nilai akademik yang kurang, aku memberanikan diri untuk hijrah ke kota pelajar, Yogyakarta, satu tahun yang lalu. Alhasil aku memperoleh sebuah tempat di Universitas Negeri Yogyakarta. Sungguh anugerah terindah karena aku bisa sampai disini. Bermodalkan semangat dan kemampuan sedikit bicara itulah yang menjadikan aku merasa percaya diri. Demi menggapai mimpi kelak menjadi seorang Menteri. Amin. Memulai sesuatu yang baru, lingkungan baru, dan suasana baru tak menjadi kendala yang serius bagiku, karena aku mudah beradaptasi dan bersosialisasi. Aku melakukan berbagai kesibukan dengan berbagai aktivitas kampus supaya cepat berinteraksi dengan lingkungan baruku. Setelah beberapa bulan berjalan, hari demi hari teman-temanku semakin bertambah. Dan tak terasa aku telah menemukan keluarga baru disini. Sudah sekian lama aku terpisah dari orang tua dan menjalani hidup ini sendiri dengan bahagia, namun dibalik cerita indahku ini tergores kerinduan kepada sosok ibu yang selama ini selalu disampingku. Aku merindukan belaian tangannya, hangat peluknya, teduh disampingnya, dan semua yang tak ku dapatkan disini. Aku baru menyadari bahwa beliau begitu berarti. Aku ingin malam ini memeluk dan mencium keningnya. Aku mampu bertahan sampai saat ini karena ibu. Aku merasa bahagia seperti ini karena senyuman ibu. Aku berjanji akan semangat belajar demi sebongkah kesuksesan untuk beliau. Tuhan, izinkan aku memeluknya malam ini walau hanya dalam mimpi. Kan ku ulang kembali saat-saat indah kala bersamanya. Terlelap, hingga di ujung pagi.
            Ketika kebersamaan telah terhenti, maka pada saat itulah kita akan merasa kehampaan juga kehilangan. Ketika kehangatan tak lagi tercipta maka yang terjadi adalah kekosongan. Itulah yang ku rasakan kini. Sunyi dan sepi tanpa beliau disini meski hanya sementara. Tapi inilah hidupku. Kini aku telah siap untuk mengepakkan kedua sayap dengan sejuta mimpi dan harapan dipelupuk mata. Satu yang ku mengerti, bahwa beliau telah menanamkan benih-benih kekuatan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menghargai dengan sesama yang kini telah tumbuh subur didalam hatiku. Beliau menghiasinya dengan lentera cahaya kasih sebagai penerang kala kegelapan hati. Menyiraminya dengan air-air kehangatan yang mengalir dari syurga. Begitu dingin dan menyejukkan. Dan saat ini nilai-nilai kebaikan itu telah bermekaran di relung jiwaku.
            Dalam kitab al-hadist Adabun Nabawy disebutkan, dari Abi Hurairah Ra. berkata, “Telah datang seorang lak-laki kehadapan Rasulullah Saw. seraya bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah yang lebih berhak atas perlakuan yang baik dari keluargaku?”
            Jawab Rasulullah Saw., “Ibumu.”
“Lantas, siapa lagi?” Tanya lelaki itu lagi.
“Ibumu,” jawab Rasulullah Saw.
“Kemudian, siapa lagi?”
“Ibumu.”
“Kemudian, siapa lagi?”
Jawab Rasulullah Saw., “Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim) (Mustofa W. Hasyim, 2009: 127)
Hadist tersebut sangat masyur dan tak asing lagi di telinga kita. Dalam hadist diatas, Rasulullah sampai menyebutkan penghormatan kepada ibu hingga tiga kali daripada seorang ayah. Sungguh betapa mulianya sosok ibu dalam kesempurnaan hidup kita. Tentu ada maksud yang hendak disampaikan oleh Rasulullah. Coba kita ingat dan bayangkan seberapa jauh peran kemuliaan ibu dalam kehidupan kita? Subhanallah, takkan pernah mampu kita menghitungnya.
Ketika seorang anak perempuan hendak melahirkan, ia menangis tersedu-sedu dalam perjuangan hebat demi sang buah hatinya. Ia menginginkan teduhnya sosok ibu yang selalu menemani, menjaga, dan mendoakan agar persalinannya lancar. Mengapa? Karena ia teringat betapa beratnya perjuangan seorang ibu ketika hendak melahirkan ia dahulu. Ketika seorang anak laki-laki sakit dan terbaring lemah, ia tidak menginginkan apapun, namun ia hanya ingin ditemani oleh sang ibu. Mengapa? Karena ia teringat masa-masa damai yang pernah ia lalui bersama ibunya. Sungguh nyata bila syurga berada ditelapak kaki ibu dan ridho Tuhan adalah ridho ibu, mengingat peran ibu begitu besar dalam hidup kita. Hampir seluruh waktu kita tak terlepas dari kasih sayang seorang ibu. Beliau mendidik, merawat, menjaga anak-anaknya hingga tumbuh besar seperti yang ia harapkan. Berharap sang anak kelak menjadi sandaran hatinya kala usia senja dan tak mampu berdiri. Serta menghabiskan sisa hidupnya bersama anak-anak yang dicintainya. Begitu hangat dan dekat.
Syair ini ku persembahkan untuk kemuliaan para ibu yang telah mengasihi buah hatinya dengan lentera kedamaian.
Ibu ...
Karenamu aku hadir di dunia. Merasakan mozaik cinta dalam sepenggal harmoni jiwa. Merangkai tangkai-tangkai luka hingga berbunga canda. Merajut dawai-dawai cerita yang tak selalu bahagia. Namun selalu ada asa dalam sekat-sekat derita.
Ibu ...
Tak terbayang bila kau tak menyentuhku. Dan menjamahku dengan halus tanganmu. Mungkin kini aku telah terperosok dalam lubang hina. Seperti mereka yang berjalan di sisi hitamnya dunia. Kelam, suram, tanpa masa depan.

Ibu ...
Bersamamu ku habiskan waktu. Menangis dan tertawa. Kau bagai lampion-lampion kecil yang terus bersinar kala datang gelap gulita. Kau seka air mataku, kau usap peluhku, dan kau peluk saat ku tak mampu berdiri. Kaulah ibuku juga kekasihku.
Ibu ...
Entah berapa bejana yang akan terisi bila ku mampu lukiskan luapan kasihmu. Entah berapa putaran bumi akan berhenti bila ku sanggup tuliskan muldiamu dalam secarik kertasku. Aku tak akan mampu menyelami luasnya cintamu. Hingga ku mati sebelum menggapai tepi kasihmu.
Terimakasih Tuhan, engkau telah menghadirkan sesosok puteri cantik penyejuk hati dalam sekeping mozaik hidupku yang singkat ini. Hanya cinta yang mampu ku beri untuknya.
Kisah ini juga cukup menarik untuk disimak. Cerita ini terjadi ketika aku masih duduk dibangku sekolah tingkat atas. Satu bulan yang lalu, sekolah kami baru saja menerima siswa-siswi tahun ajaran baru. Sepertinya sudah menjadi tradisi dari tahun-tahun sebelumnya bagi kami selaku pengurus ekstrakurikuler untuk merekrut anggota baru. Siang itu ketika sepulang sekolah aku sengaja mengumpulkan teman-teman dan seluruh anggota baru yang tergabung dalam satu wadah pecinta sastra. Dengan tujuan untuk saling mengenal sekaligus pengakraban antar anggota. Karena inilah pertemuan kami yang pertama kali. Tempat yang sengaja ku pilih adalah sebuah ruang kelas yang berada agak jauh dari ruang guru, agar acara kami tidak mengganggu aktivitas sekolah lainnya.
Aku tercengang ketika melihat ruangan yang masih kosong tak berpenghuni. Padahal waktu yang kita jadwalkan adalah pukul 14.30 atau 30 menit seusai sekolah. Acara siang itu memang tidak berjalan sesuai rencana, banyak anggota baru yang datang terlambat. Padahal aku dan teman-teman pengurus lama telah menunggu sejak setengah jam yang lalu.
“Maklum, mereka masih siswa baru.” Ujarku lirih.
Sedikit geram kami menunggu mereka yang tidak tepat waktu, namun kami belum bisa memulai agenda bila seluruh anggota belum hadir semua.
“Mana sih anggota barunya?” lontar sang sekretaris, Lukita, sambil mengotak-atik tombol ponselnya dengan wajah gusar.
“Sabar, sebentar lagi mereka pasti datang.” sahut sang sekjen, Badri, dari belakang tempat dudukku yang berusaha menetralkan suasana.
Sedangkan para pengurus lainnya mencoba menutupi rasa kesalnya dengan cara mereka masing-masing. Ada yang menelpon kekasihnya, mengirim pesan SMS, dan ada pula yang memainkan game Puzzle didalam ponselnya. Aku pun hanya duduk dan diam di kursi plastik depan pintu dengan perasaan gusar.
Setelah satu jam kami menunggu akhirnya semua anggota telah lengkap berkumpul didalam ruangan. Ruang kelas yang semula hanya terisi dengan kursi-kursi kosong kini suasana kelas semakin ramai. Ada yang terpaksa duduk lesehan dan ada pula yang sampai harus berdiri karena tak kebagian tempat duduk. Tak bisa ku bayangkan betapa sesaknya ruang kelas siang itu.
Saatnya memulai serangkaian acara yang telah disiapkan. Acara perkenalan para pengurus kepada seluruh anggota baru. Dan aku pun yang mulai kesempatan itu.
“Perkenalkan, nama saya Irwan, saya selaku ketua dalam keanggotaan di ekstrakurikuler ini.”
Mataku berjalan, menyisir, dan menatap setiap wajah-wajah baru yang berada dihadapan ku. Entah mengapa bola mataku tertuju dan terhenti pada satu wanita berkerudung putih yang duduk paling belakang. Wajahku tertahan untuk terus menatapnya. Namun yang membuatku heran, ia mengembangkan sebuah senyuman kehadapan ku. Aku mendadak salah tingkah. Wanita itu sungguh cantik. Sepasang lesung pipit memperindah wajahnya saat ia tersenyum. Tak ada salahnya bagiku untuk mencuri-curi pandang, toh saat itu juga aku belum punya pacar.
Hari-hari telah berganti. Entah mengapa dan tanpa terasa otakku masih saja menyimpan sebuah pertanyaan akan dirinya, siapakah dia? Sesorang yang ku temui karena keindahannya yang mampu memaksaku untuk semakin melihatnya. Hari-hari yang ku lalui akhir-akhir ini masih dengan tanda tanya. Aku berharap pertemuan selanjutnya dapat berkenalan dengan dia.
Pada suatu hari aku datang ke rumah sahabatku yang selalu ku jadikan tempat untuk curhat. Mukhson, begitulah aku memanggil lelaki itu. Keluarganya pun begitu hangat kepadaku. Karena kita sudah bersahabat sejak kami berumur 6 tahun. Saat itu ku ceritakan semua kejadian-kejadian yang ku alami semenjak aku bertemu dengan perempuan berparas ayu tersebut.
“Son, beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan wanita cantik disebuah acara penyambutan siswa baru loh. Yah, meskipun aku belum tahu siapa namanya.”
“Aku juga nih, aku mulai menyukai wanita yang ku temuai ketika aku menjadi pemandu Masa Orientasi Siswa (MOS) di SMA kita satu bulan yang lalu.” sahutnya dengan mimik gembira.
“Siapa ia?” ujarku dengan nada penasaran.
“Ada deh, besok kamu juga pasti tahu kok orangnya.”
Sore itu kami menghabiskan waktu untuk saling bercerita meskipun sahabatku ini masih tetap saja merahasiakan nama wanita pujaannya.
Pada pertemuan berikutnya dengan para anggota sastra baru, aku menemui gadis itu usai acara berakhir. Entah apa yang akan ku tanyakan, aku juga tak tahu. Aku mendekatinya lalu bertanya, “Hai, anggota baru, ya?”
“Iya, Kak.” jawabnya sedikit malu.
Perbincangan kami pun begitu saja mengalir. Meskipun kami baru saja kenal tapi seperti sudah lama berteman. Aku lupa pertanyaan apa saja yang ku obrolkan pada saat itu. Tapi yang jelas, nama perempuan cantik itu adalah Sevia. Siswi yang duduk di kelas 10.B yang juga telah bergabung di klub sastraku.
Waktu demi waktu telah mendekatkan hati kami. Butir-butir sayang telah membuat kami semakin saling mengagumi. Memiliki beberapa kesamaan dan hobi membuat kami semakin menemukan kecocokan. Canda dan tawa telah kami goreskan hampir satu semester terakhir ini. Kebersamaan itulah yang membuat kami semakin dekat dan erat. Namun hingga detik itu pun aku belum juga berani mengutarakan perasaan ingin memiliki kepadanya. Biarlah waktu hingga menguatkan hatiku.
Entah apa yang terjadi sebernarnya pada waktu itu. Ternyata aku dan sahabatku menyayangi wanita yang sama. Wanita yang kini sangat ku kagumi, Sevia. Sejak saat itu persahabatan kami tak begitu harmonis lagi. Dia yang dulu sering menemuiku kini nyaris tak pernah menampakkan wajahnya dihadapanku. Kebersamaan kami yang telah terjalin sejak lama kini lenyap bagai ditelan waktu. Aku tidak menyalahkan dia untuk mencintai wanita manapun, tapi aku menyesalkan ketidak jujurannya kepadaku soal perempuan yang dia sayangi waktu itu. Andai saja dulu kita saling berkata jujur, mungkin kejadian ini tak akan terjadi.
Aku tahu wanita itu menyayangiku sepenuhnya. Begitu juga aku. Namun aku tak ingin memupuskan persahabatan yang telah lama terjalin. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak memilih Sevia. Aku lebih memilih sebuah pertemanan yang abadi. Menyedihkan memang, tapi itulah hidup, begitu banyak pilihan yang harus kita jalankan. Dan semenjak itu persahabatan kami mulai berangsur membaik. Kami sama-sama melepaskan wanita yang selama ini kita sayangi demi pertemanan. Aku menyadari, memang bukan hal yang mudah untuk membendung deraian rasa sayang. Tapi kami telah berjanji untuk menghapus kesalahan di masa lalu dan memulai lembaran baru dengan sebuah kejujuran dan arti persahabatan. Semoga persahabatan kami selamanya indah tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi. Selamat tinggal masa lalu.
Kisah yang serupa juga pernah terjadi dalam warna-warni hidupku. Tepatnya satu tahun setelah kejadian diatas. Suatu pagi buta yang masih berselimut kabut tebal, aku telah siap mengayuh sepeda  polygon dengan tas gendong dibalik punggungku. Di dalamnya telah ku siapkan sebuah kado ulang tahun untuk seseorang yang berisi boneka kelinci berwarna merah muda. Warna kesukaannya, merah merona seperti warna pipinya kala tersentuh cahaya mentari. Tentunya dengan sepucuk surat yang telah ku tulis dengan penuh perasaan tadi malam. Tak begitu banyak perlengkapan yang ku pakai, hanya celana jeans setinggi lutut dan sepatu kain berwarna putih. Lekas ku kayuh sepedaku sebelum matahari menyapa. Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya sampai juga ditempat tujuan, dirumah orang yang paling special, Anissa Cintya. Wanita yang hadir semenjak menghiasi hidupku. Ini adalah ide paling gila yang pernah ku lakukan sepanjang catatan asmaraku. Bersepeda sekitar 15 kilometer dari rumah. Tak pernah ku lakukan sebelumnya kepada wanita lain. Cinta itu buta, begitu kata penyair asal Inggris, Willdiam Shakespeare. Karena ketika cinta bicara, maka akal tak mengenal logika. Sekujur tubuhku terbenam keringat. Meskipun badanku tak sewangi ketika beranjak dari rumah, hal ini tak ku hiraukan lagi. Sungguh tak sabar rasanya ingin segera menemuinya. Bidadari cantik yang pernah ku jumpai di bangku SMA. Segera ku sandarkan sepeda di depan rumahnya lalu ku ketuk pintu beserta salam.
“Assalamualaikum” dengan jantung berdebar-debar tak menentu.
Terlihat sungguh lengang keadaan di sekeliling rumah pagi itu. Wajar, masih pukul 06.00 saat ku ketuk pintu. 
“Sedikit tidak sopan sih bertamu terlalu pagi.” Ujarku dalam hati lirih.
Namun tak lama Kemudian,
“Waalaikumsalam, tunggu sebentar, ya?” terdengar alunan suara yang sangat lembut sekali dari dalam rumah.
“Kreekkk ... !!!” pintu pun mulai terbuka dibarengi dengan suara engsel yang memekik keheningan pagi.
“Asyik ...” ujarku dengan pikiran girang.
Untung bukan ayahnya yang membukakan pintu, soalnya ayahnya terkenal galak sepengakuan teman-teman sekolahnya. Seketika itu pula dia langsung tercengang memandangku dengan tatapan kosong. Kelopak mata yang semula masih menutupi bola matanya yang indah sontak terbuka lebar. Tak ada kata. Hampir 10 detik kami bertatapan. Terpaku. Terddiam.
Ini adalah hal pertama bagiku soal wanita, mungkin juga untuk dia. Lidahku menggulung seketika entah kemana. Otakku mengerucut hingga yang tersisa hanya ruang hampa. Dengan nada terbata ku beranikan diri untuk mengungkapkan semuanya dengan jujur.
“Aku datang kemari ingin mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-17 kepadamu. Semoga hari-harimu lebih indah dalam menjalani hidup.” Kata-kata yang sama persis seperti yang ku hafalkan semalam.
“Iya, terimakasih, ya?”
Tak banyak kata yang dia ucapkan kepadaku. Entah dia takut ayahnya segera bangun atau entah dia malah terkejut? Sudahlah, tak ku hiraukan apa yang dia pikirkan saat itu. Yang penting dia mau menerima hadiahku. Senangnya hati ini.
Ku jabat tangannya lalu ku ajak dia kedepan rumah. Kami berdiri tepat disamping sepedaku. Ku curahkan seluruh perasaan yang selama ini ku tahan dan ku simpan. Bagai air yang mengalir, ku utarakan semua kekosongan yang kurasa. Begitu sejuk dan menyegarkan. Dan akhirnya dia pun bersedia mengisi kekosongan hati yang selama ini belum terjamah oleh siapapun. Karena dia adalah cinta pertamaku. Sejak pertemuan itu kami disatukan. Memulai hari dengan kebersamaan. Menjalin kasih dan keindahan. Tak terasa ruang kosong didalam hatiku telah terisi penuh nyaris tak ada celah. Hari-hari yang kita jalani begitu sempurna. Tangis bagaikan canda. Duka serasa bahagia. Segalanya indah ketika berbumbu cinta. Aku yang selama ini sendiri kini telah berdua.
Satu yang ku peroleh dari kisah ini. Arti kejujuran. Kejujuran adalah awal dari keindahan. Tak ada suatu apapun yang indah tanpa kejujuran. Memang, terkadang kejujuran begitu sulit diungkapkan. Seperti obat, pahit pada awalnya namun manis pada akhirnya. Semoga kejujuran mampu tumbuh dan bermekaran selamanya dalam relung jiwaku. Kini aku dan sahabatku, Mukhson, telah hidup bahagia dengan kekasih kita masing-masing. Malah terkadang kita tertawa ketika mengingat semua kenangan pahit pada masa-masa itu. Benar, hidup ini memang terkadang aneh.
Kisah berikut ini sangat sayang untuk dilewatkan. Inilah bentuk persahabatan dari kami, saling menghargai dan melengkapi. Kebersamaan yang telah tercipta sejak 13 tahun yang lalu. Kala kita duduk di bangku sekolah dasar. Exsa, begitulah sapaan akrabku ketika memanggilnya. Tak pernah sedikitpun kita mempermasalahkan urusan kepercayaan. Dimana ada mentari, disitu kita menaburkan senyuman hangat. Dimana ada bintang, disitu kita berbagi cerita. Tak ada hari yang terlewati tanpa keceriaan.
Aku dan dia adalah dua pribadi yang tak sama. Benar, aku seorang muslim dan dia seorang kristiani. Terlahir dengan kondisi yang berbeda membuat hidup kita terasa lebih berwarna. Berbagi berbagai pengetahuan dan bertukar bermacam pengertian. Tak ada batasan bagi kita untuk mewarnai indanya pelangi. Dan menembus panasnya matahari.
Aktivitas rohani dan kepercayaan hati yang kami jalani selama ini telah mengajarkan kami tentang indahnya saling menghargai dan bertoleransi dalam beragama. Bertolak dari titik inilah yang menjadikan kita semakin dekat dan erat. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar. Dan akan lebih berharga bila kita mampu menyikapinya secara cerdas. Tempat ibadah kami pun berjejeran. Terletak disebuah desa yang cukup ramai tak jauh dari kota, Rajabasa Lama, dekat dengan SD dan rumah tinggal kami. Bukankah ini merupakan perbedaan yang bisa disatukan? Tak perlu ada sekat yang saling memisahkan. Aktivitas ku sebagai seorang muslim adalah pergi ke masjid. Begitu pula dengan aktivitasnya sebagai umat kristiani, pergi ke gereja. Semuanya dapat berjalan seimbang hingga kini kita beranjak dewasa. Tak ada yang terganggu maupun terusik.
Pada suatu saat tibalah hari yang dinanti. Hari itu adalah hari Raya Idul Fitri. Hari suci untuk seluruh umat muslim. Tak pernah ku bayangkan sebelumnya, dia datang memberi selamat sebagai bentuk penghormatan antar umat beragama. Dengan tidak menyalahi aturan-aturan dalam agama islam, aku pun memberi ucapan selamat kala datang hari Natal. Dan kebiasaan-kebiasaan inilah yang tetap kita jalani hingga 1 tahun yang lalu. Ketika semuanya telah diatur oleh Sang Pemilik hidup, itulah jalan yang harus kita tempuh. Akhirnya seusai SMA aku mendapat beasiswa kuliah ke perguruan tinggi di Yogyakarta. Hal ini tentu ku sambut baik. Kemudian dia memutuskan untuk menikah. Menuruti kehendak sang nenek yang telah membesarkannya semenjak ibunya meninggal. Sebuah pilihan yang begitu sulit dan menyakitkan.
Meskipun kini kita tak berdekatan lagi, tapi ku yakin, dimanapun aku berdiri pasti akan menemukan berbagai perbedaan lain dalam lingkungan baruku. Sebuah hukum alam yang pasti akan terjadi pada diri setiap manusia. Namun hal inilah yang harus ku hargai sebagai sebuah perbedaan yang akan memberi kedamaian. Sama seperti cerita indahku 13 tahun yang lalu.
Kisah terakhir ini juga sangat menarik untuk disimak. Disebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota inilah aku melihat seorang perempuan yang sudah lanjut usia. Layaknya seorang nenek-nenek yang lainnya, kulitnya pun sudah berkerut dan rambut lurusnya yang dulu berwarna hitam kini satu per satu menjadi putih termakan usia. Jarinya tak mampu menggenggam sekuat dahulu. Langkahnya tak lagi setegap 20 tahun yang lalu. Nenek yang akrab dengan sapaan Mbah Sar kini telah berusia lebih dari 60 tahun. Hampir tiga kali umur ku saat ini. Kehidupan yang sangat jauh dari kemewahan ini tak pernah membuatnya mengeluh apalagi sampai putus asa. Bahkan ketika beliau harus kehilangan suami tercintanya menghadap Sang Pencipta pun dia masih tetap tabah dalam menjalani hidup. Suami tercinta yang telah menemaninya hingga masa tua.
Satu sikap yang menjadi pusat perhatianku sampai saat ini adalah beliau masih sangat rajin menunaikan ibadah. Diumur senjanya kini beliau masih tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah, yaitu sholat. Meskipun tubuhnya ringkih namun tak jarang dia tetap menunaikan ibadah puasa. Setiap mendengar suara adzan, beliau segera beranjak ke sumur, menimba air untuk berwudhu. Inilah keseharian beliau. Kebetulan rumahku berdekatan dengan tempat singgah beliau. Hanya terpisah pelataran kosong saja.
Kini disebuah gubuk kecilnya itulah beliau menjalankan segala aktivitasnya dalam mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, berteduh dari guyuran hujan, berlindung dari teriknya matahari, dan menghabiskan masa tuanya bersama anak dan cucunya. Sejak kecil aku begitu akrab dengan pribadi ramah beliau. Aku melihat sosoknya begitu lembut. Hampir tak pernah aku melihatnya berlaku kasar maupun melontarkan kata-kata yang menyakiti perasaan orang lain. Sungguh pribadi yang anggun.
Berbagai cerita ini ku himpun berdasarkan kisah nyata. Ku sadur dan ku lukiskan kembali dari berbagai sumber pengalaman pribadi yang pernah ku alami. Tanpa merubah nilai-nilai yang pernah ku lakukan pada masa lampau. Semoga kisah ini selalu terekam dalam alam sadar yang menuntunku ke arah yang lebih baik lagi. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih