Ketaatan pada Tuhan dan Agama dalam Proses Pencarian Tuhan



Sesaatku pada Hadir Mu
Sebuah genggaman
Hanya yang terlihat
Sebuah sentuhan
Hanya yang terasa
Aku tak melihat-Nya
Dan bayangan-Nya hanya merasuk
Sentuhan dan genggaman yang terminta
Meski tak diminta dan tak kuingini
Tapi itu yang kubutuhkan
Melebihi udara yang kubutuhkan
Karena sentuhan Mu adalah udara itu
Dan genggaman Mu adalah jalan ku
Menjalankan aku pada detik-detik batas kecintaan akan suatu semu, namun nyata bagai aku yang menangis, menangisi Mu yang mencinta ku tanpa batas dan sekat

Melihat Mu itu tak mungkin
Merungkuh Mu hanya harapan tapi aku akan berikan
Tetes-tetes perih yang menyesak karena dosa
Butir-butir kerapuhan yang meluruh pada simpuh-simpuh malamku
Yang kadang kuat namun masih terlepas dan sulit mengikat, memeluknya

Malam Mu sunyi tapi sesak ku telah mewarnanya
Menjadi malam yang riuh dengan sayap-sayap tangan Mu
Merengkuh ku membawa tangis tak terminta, menggiring taubat menuju jalan tak berwarna untuk ku





Tuhan menciptakan saya menjadi manusia. Manusia yang diberikan kesempurnaan fisik dan kelengkapan serta kebahagiaan dalam keluarga. Tuhan ku Allah SWT tidak pernah mengharapkan balasan atas segala nikmat yang telah tercurahkan, yang Ia minta hanya sujud penuh keridhoan dan keikhlasan di lima waktu yang diberikan. Sepertinya mudah membayar kebahagiaan dan kenikmatan itu tetapi sesungguhnya Ia telah mengetahui apa yang akan kita lakukan untuk-Nya nanti.
Ini adalah sebuah pengakuan akan cinta yang baru saya temukan. Baru saya rasakan setelah hidup, bernafas dengan udara-Nya selama 17 tahun. Saya baru mencintai Tuhan, Allah SWT ketika 17 tahun, ketika pertama kali saya bersujud dengan penuh rasa takut jika Allah meninggalkan saya.
Saya adalah anak tunggal, hidup dalam kesederhanaan dan keikhlasan menerima segala nikmat dan berkah-Nya. Hidup sebagi anak tunggal tidak lantas membuat saya dimanja dan dituruti segala keinginannya. Saya diajarkan tentang bagaimana berusaha semaksimal mungkin dengan usaha sendiri untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Terlebih Ibu tidak mengiginkan anaknya nanti tumbuh menjadi seseorang yang selalu bergantung pada orang tua maupun pada orang lain. Ayah dan ibu membekali saya dengan berbagai pelajaran hidup. Ketika masih anak-anak mereka mengajarkan apa itu Islam, siapa Tuhan, bagaimana bersyukur, bagaimana menjalankan ibadah-ibadah yang diperintahkan. Semuanya berupa nilai-nilai praktis yang menurut saya sama saja dengan pelajaran agama di sekolah. Menurut mereka saya nantinya akan menemukan Tuhan dengan cara saya sendiri.

17 tahun saya hidup dalam ketidaktahuan akan tujuan akhir hidup itu sendiri. Tidak pernah terbayang apa yang sebenarnya saya inginkan. Prinsip yang diajarkan dalam keluarga tentang kegigihan berusaha mencapai keinginan membuat saya lupa bahwa semua perjalanan ini tidak berjalan sendiri, tidak terjadi begitu saja. Semua yang saya peroleh saat itu adalah karena usaha dan kerja keras saya sendiri ditambah dukungan dari orang tua. Kegigihan dan semua usaha keras yang telah saya lakukan untuk mencapai keinginan-keinginan itu membuat saya akhirnya tumbuh menjadi seseorang yang sedikit egois dan lupa bahwa sebenarnya semua ini ada yang mengatur.
Saya telah diajarkan tentang Islam, sholat, puasa, zakat, sedekah dan sebagainya sejak kecil dan saya terus menerus mengerjakan semua ibadah itu semata-mata karena saya hanya menuruti apa yang diperintahkan orang tua, dan hanya merasa menjalankan sebuah kewajiban agar tidak mendapatkan dosa. Ini adalah sebuah kejujuran yang saya coba ungkapkan, selama 17 tahun saya tidak pernah benar-benar memaknai semua ibadah yang saya lakukan. Saya menjalankan shalat hanya membaca semua bacaan, menggerakkan badan, semuanya hanya seperti rutinitas tanpa makna. Begitu juga dengan puasa, saya  menganggap puasa hanya menahan lapar dan haus tidak kurang dan tidak lebih. Semua itu karena saya tidak pernah bisa benar-benar merasakan siapakah Allah yang sebenarnya dan bagaimana Allah benar-benar bermakna dalam hidup saya.
Selama 17 tahun saya hanya berkutat dengan hidup saya sendiri, berusaha untuk hidup dengan keinginan saya sendiri. Hal ini membuat saya menganggap apa yang telah saya dapatkan ini adalah karena usaha saya sendiri, bukan karena orang lain ataupun karena takdir. Ini semakin membuat saya tidak mengenal siapakah Tuhan dan makin mengaburkan akan makna hidup itu sendiri. Ada satu titik kekosongan.
Tepatnya saat saya duduk di kelas 2 SMA, ada perasaan gelisah mencari-cari siapakah diri saya ini, apa yang saya butuhkan, apa yang benar-benar saya ingin capai, apakah tujuan utama saya hidup, dan kenapa juga saya perlu untuk melakukan semuanya. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin kuat dan saya tidak pernah bisa menjawabnya. Ada kehampaan dalam setiap hari yang saya jalani. Doa yang terucap hanya berlalu seperti udara yang dihempaskan lalu hilang. Tidak ada yang bermakna.
Saya menyebutnya sebagai proses titik balik penemuan siapa saya sebenarnya, dan itu masih terus berproses sampai sekarang. Proses dimana saya menyusun mosaik-mosaik hidup yang telah dan akan saya jalani nanti. Saya mulai menemukan ada yang salah dengan yang selama ini saya jalani, sampai akhirnya saya benar-benar berada di titik palih rapuh. Ibu, semangat dan motivasi saya jatuh sakit dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Di sisi lain saya harus melihat bagaimana semua meninggalkan keluarga saya, kami berjuang sendiri melewati masa sulit ini. Ada rasa pahit, sesak yang tidak dapat dikeluarkan, meronta, bergolak ingin memberontak pada Ia yang saya sebut Tuhan. Kenapa saya harus melihat ini. Melihat Ibu sakit, lemah dan rapuh.
Semuanya seperti hilang, dan hanya amarah yang saya punya. Ini tidak adil. Tetapi baru saat ini saya sadar, sebenarnya sayalah yang tidak adil pada Tuhan, saya yang sempat marah pada-Nya karna melebikan rasa pahit dalam hidup (yang baru sedikit). Saya yang hina karena begitu culasnya hanya menyalahkan Tuhan tanpa melihat bagaiamana bersikap selama ini pada Tuhan yang tidak saya kenali dan saya abaikan. Dalam masa sulit ini ada ayah yang menguatkan hati dan iman. Ia hanya terus tersenyum menerima semuanya, meminta saya berdoa lebih khusyu memohon pada Allah. Saya menurutinya walaupun saya masih merasa saya tak pernah dilihat oleh Tuhan karena saya merasa tak pernah dekat dengan Dia.
Selang setelah Ibu kembali pulih, saya masih menyimpan tanya, apa yang akan saya jalani di dunia ini? Apakah cukup hanya untuk orang tua saya? Hanya untuk kesenangan dunia? Dan apa yang diinginkan oleh Tuhan dari saya? Saya merasa sedang berjalan mencari sebuah jawaban akan pertanyaan keimanan. Keimanan kenapa saya harus membutuhkan Tuhan, keimanan kenapa saya harus mengenal Dia dan keimanan kenapa saya harus beribadah kepada-Nya. Saya membutuhkan penjelasan dan alasan. Kedua orang tua saya tidak pernah bisa memberikan jawaban yang saya inginkan, bahkan guru atau teman sekalipun. Ada satu waktu begitu tenang saat saya melampiaskan kemarahan saya pada Tuhan didalam doa-doa shalat saya ketika Ibu jatuh sakit. Saya begitu leluasa membicarakan semuanya, berbicara dengan Tuhan yang tak dapat saya lihat tetapi ada satu rasa keyakinan Dia mendengar keluhan saya.
Masa penuh pertanyaan itu menjadi masa yang hambar bagi saya. Semuanya belum jelas, semuanya masih penuh dengan kenapa, kenapa dan kenapa. Sampai pada hari dimana saya merasakan dorongan yang begitu keras untuk shalat tahajud, berbicara langsung pada Tuhan.
Ada yang berdebar dan bergejolak di dalam hati. Malam itu saya putuskan untuk shalat tahajud. Saya melakukan shalat dengan rasa yang berbeda. Saya mencoba menghayati satiap kata dalam bacaan shalat. Ada yang makin bergolak di dada hingga membuat saya harus menangis selama membaca bacaan shalat. Begitu pula dengan dzikir dan doa saya, ada rasa yang begitu kuat yang membuat saya harus terus menerus menangis, menangis, menangis tapi saya juga tidak tahu kenapa harus menangis. Saya berdoa pada Allah dan saya merasakan ada keyakinan kuat Allah sedang melihat saya malam itu. Kejadian ini terus terjadi setiap kali saya melakukan shalat tahajiud. Saya mulai menikmati setiap tangisan dan isakan dalam sujud-sujud malam saya, dan rasa takut saya makin besar. Rasa takut jika Allah tidak memaafkan setiap dosa-dosa saya.
Kenikmatan dalam keintiman dengan Tuhan dalam setiap malam-malam tahujud membuat saya mempunyai perasaan baru, sebuah keyakinan yang datang tiba-tiba tanpa harus memerlukan alasan teoritis. Ada yang hendak meledak di dalam dada ini setiap kali melantunkan ayat-ayat Nya, ada yang menyesak setiap kali mengingat kenapa saya tak bisa merasakan ini sejak dulu, ada ketakutan bagaiman jika dosa dan kesalahan saya tidak bisa diampuni karena tak menghiraukann-Nya. Saya habiskan malam tahajud saya dengan berdoa dan meluapkan semuanya pada Tuhan. Dzikir saya seperti mempunyai makna besar di setiap malam saya menghadap Allah, sangat berbeda dengan yang sebelumnya, tetapi semuanya itu seperti datang dengan sendirinya menjawab kegalauan saya. Semuanya terasa begitu cepat, dan saya dengan sendirinya memang dapat menjawab kegalauan itu satu persatu di setiap tahajud malam yang khusyuk.
Keyakinan itu akhirnya datang dengan sendirinya. Keimanan akan Allah yang selalu ada untuk hambanya akhirnya dapat saya rasakan. Saya mencoba merefleksikan kembali apa yang telah terjadi sebelumnya. Semua kegalauan ini akhirnya terjawab dengan satu rasa, keyakinan saya terhadap Allah yang senantiasa mencintai seluruh hambanya, hingga akhirnya saya pun dapat merasakan getaran cinta pada Allah, baru saat saya berusia 17 tahun.
Ada yang membuat saya yakin setiap harinya dalam menjalankan rutinitas. Semuanya saya lakukan demi Allah, demi Tuhan yang telah memberikan semua kenikmatan di dunia ini. Saya mulai menyadari tubuh ini nantinya akan hancur seiring waktu saya nanti tiada, tetapi ada yang tidak akan musnah, ruh dan jiwa saya. Itulah yang harus tetap saya jaga dan perjuangkan sebagai tujuan utama saya hidup. Saat pencarian akan Tuhan dalam shalat tahajud saya, saya mencoba merenungkan apa yang akan terjadi jika nanti saya meninggal, apa yang akan saya bawa? Kemana saya pergi selanjutnya dan banyak lagi. Hingga akhirnya saya menyadari satu hal. Pada Allah lah nantinya saya berakhir. Saat kesadaran itu muncul, rasa yang begitu besar berdegub serasa begitu kuat. Rasa seakan Ia tengah melihat saya yang penuh dosa dan kecongakan. Rasa yang amat sangat takut jika Ia meninggalkan saya di dunia, di dalam kegelisahan. Saya teramat takut jika Allah tidak mengampuni semua dosa-dosa saya.
Perjalan waktu yang saya alami setiap harinya saya jadikan sebuah pelajaran hidup, apaupun itu. Semuanya terasa lebih mempunyai makna. Pertanyaan-pertanyaan kenapa yang dulu sering membingungkan saya akhirnya dapat saya cermati dan saya jawab dengan cinta kepada Allah SWT. Cinta akhirnya membawa sebuah dampak yang besar. Semua ibadah yang saya lakukan sekarang lebih mempunyai rasa, tak sekadar pemenuhan kewajiban dan menghindari dosa, tapi lebih ada getar rasa bahwa ini semua saya lakukan untuk-Nya. Rasa getar yang tidak pernah saya hilangkan. Keyakinan yang saya temukan ini adalah bagian penting dalam perjalanan hidup saya kedepaan. Cinta ini pun turut membawa keikhlasan di dalam menjalani hidup, menerima yang Ia berikan dan merelakan yang Ia ambil nantinya.
Sebuah masa yang sulit ketika itu, masa pencarian siapakah Ia. Saat ini saya hanya baru dapat mengenalnya, masih banyak yang harus saya ungkap dan pelajari lagi tentang Ia, Allah, Tuhan saya. Semuanya akan beriringan dengan waktu dan bertambahnya pelajaran hidup yang akan saya peroleh ke depan. Tidak hanya tentang mengenal dan mencari cinta-Nya tetapi juga tentang hakekat siapakah saya sebenarnya. Proses menemukan jati diri. Saat ini itulah proses yang tengah saya jalani. Paling tidak saya telah memilki satu pedoman kuat, Allah SWT.
Saya mensyukuri semuanya, saya mensyukuri memilih Islam dan mencintai Allah bukan karena tradisi atau orang tua. Saya menemukan islam dan Allah dengan cara saya sendiri dan saya mempunyai komitmen pada apa yang telah saya pilih. Saya merasa bersyukur dapat merasakan masa yang penuh kegalauan dan kebimbangan dalam mencari Tuhan karena dengan itu semua akhirnya saya yakin Islam dan Allah adalah pilihan saya. Semenjak saya menemukan keyakinan pada hati, semuanya berangsur angsur berubah. Saya dapat memaknai semua ibadah yang saya lakukan. Tidak sekadar menjalankan rutinitas, tak sekadar menunaikan kewajiban. Ketaatan saya dalam beribadah dan beragama, menjalankan Perintah-Nya menjadi semakin nikmat. Tidak ada keterpaksaan di dalamnya. Semuanya karena cinta, cinta dimana nantinya saya berakhir, karena saya telah memiliki keyakinan yang saya temukan sendiri, Allah SWT adalah Tuhan saya.

BY: LISA

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih