Kutemukan Percaya Diri dalam “Bruk”



Aku terlahir sebagai seorang wanita. Aku datang ke dunia dari rahim wanita yang tangguh. Dunia menyambutku saat gelap telah datang, dan siangpun telah berlalu. Aku beruntung memiliki seorang ayah. Aku lahir seperti layaknya seorang anak raja, memiliki keluarga dan tak kurang satu anggota badanpun. Aku dikasih merk oleh ayahku. Katanya agar aku tak bisa tertukar dengan seapapun. Fitri. Ya, nama awal yang cukup bermakna. Namun, ibuku merasa namanya terlalu singkat dan sangat padat. Akhirnya, catatan sipil mencatatku sebagai seorang Fitria Rahmawati. Sebuah nama yang tidak memberatkan pundakku.
            Umurku waktu itu belum genap satu tahun, masih kurang 5 bulan. Aku diajak pindah oleh ibuku bersama dengan kakakku sebab keadaan dan kondisi. Itulah sebabnya aku dipanggil Pipiet. Ya, aku memiliki kakak yang waktu itu berumur hamper dua tahun. Kita urbanisasi ke Semarang. Sekarang, saat aku bisa membayangkan dengan jelas, betapa susahnya membawa dua anak kecil yang belum bisa apa-apa. Yang aku tahu waktu itu, hanya menangis dan tertawa. Yang aku tahu hanya meminta makan, minum, dan ganti celana. Aku bisa membayangkan, ibuku waktu itu menggendong aku dan kakakaku. Tak hiraukan panas, debu, dan asap kendaraan. Yang dia tahu hanyalah melindungi anak-anaknya agar sampai ke tujuan. Ya, dia malaikatku. Ke manapun aku pergi, di akan selalu ada.
            Satu tahun lebih aku tinggal di Semarang. Saat-saat indah itupun kembali lagi. Aku berkumpul dengan keluargaku yang utuh. Kami memulai hidup baru di sebuah desa kecil di lereng pegunungan Menoreh. Rumah baruku itu benar-benar seekstrim pekuburan. Pasalnya di sebelah depan dan kanan rumahku adalah sekolahan, sebelah belakang adalah kebon, dan sebelah kiri kurang lebih 10 meter baru rumah penduduk lainnya. Waktu itu, orang yang tinggal di perkampungan itu dapat dihitung dengan jari. Hal inilah yang menyebabkan aku tumbuh besar dengan lingkungan yang tanpa kebisingan. Aku masih ingat sekali, setiap malam tiba, terdengar dengan jelas nyanyian katak, burung hantu, ataupun hewan malam lainnya yang saling berlomba kemerduan.

            Teman dan sahabatku adalah saudaraku sendiri, kakakku. Kami yang berselisih umur tidak terlalu banyak, membuat kami selalu bersama-sama. Di manapun ada dia, pasti ada aku. Walaupun itu bermain ala laki-laki, aki pasti ikutan. Mungkin hal tersebut yang membuatku sedikit tomboy. Bahkan sampai SMA kami selalu bersama-sama. Yang slalu kuingat bahwa aku hanya memiliki satu saudara. Senang sedih akan kubagi dengan dia. Itu yang membuat kami saling menjaga dan melindungi.
            Waktu itu aku masuk TK. Aku termasuk anak yang beruntung bisa bersekolah TK. Ya, walaupun itu harus dibayar dengan keringat. Ayahku menginginkan aku tak bersekolah TK. Tapi, ibuku yang selalu ngotot. Kata ibuku biar sama dengan anak seusiaku. Untuk itu, ibuku membuka kantin. Uang dari ayah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Aku masih ingat sekali, setiap pagi buta ibuku sudah berangkat ke pasar membeli barang dagangan, kemudian berjualan sampai sore hari. Aku teringat waktu itu, kaki ibuku selalu kram karena kelamaan berdiri. Tapi, ibuku tak pernah meminta ank-anaknya untuk memijatnya. Setiap aku dan kakakku pulang sekolah kami selalu membantu ibu. Entah itu mencuci pakaian sendiri, membersihkan rumah, bahkan tak jarang aku dan kakakku disuruh belanja ke pasar. Kawan, kau bisa bayangkan anak seusia empat tahun dan enam tahun berbelanja ke pasar??? Ya, mungkin bagi kalian itu sulit untuk dipercaya, tapi itu terjadi. Sebab, kami terbiasa diajak belanja ke tempat langganan kami.
            Sejak kecil aku sudah mengerti dan aku paham betapa berharganya uang, betapa sulitnya mencari uang. Kami sudah capek-capek, kadang labanya tak sebanding dengan kelelahan. Tapi, yang aku tahu, hidup ini jangan diisi oleh keluhan, tapi hidup ini diiisi oleh sebuah kecukupan. Bila kita merasa berkecukupan, pasti akan cukup. Tapi, kalau kita merasa serba kekurangan, pasti akan kurang terus. Yah, itu pelajaran hidup yang diajarkan ibuku.
            Kawan, aku masih ingat sekali, setahun sekali bagi aku makan daging bisa dihitung dengan jari. Paling tidak hanya waktu idul adha saja. Tapi aku tak pernah kelaparan. Meskipun kami tak bisa makan daging setiap hari, tapi paling tidak aku bisa makan bagian terkecilnya. Ya, akau mendapatkan protein hewani dari cakar ayam. Tentunya kawan tahu, betapa menjijikkan cakar ayam itu. Ayam memakainya untuk menginjak daerah bersih maupun kotor. Tapi bagiku itu adalah karunia. Aku masih ingat, setiap sore aku makan soup atau godogan cakar ayam dengan nasi hangat. Umami,.,. Berkat cakar ayam, aku bisa tumbuh besar sampai sekarang.

            Jujur kawan, aku bukan orang yang tegar. Aku berkali-kali mengeluh, Kenapa Tuhan mendatangkan aku ke dunia ini dalam keadaan serba kekurangan? Bahkan untuk sebuah mainan anak saja aku tak pernah punya. Yang kutahu waktu iu hanya meminjam. Kadang aku menginginkan sesuatu, tapi aku tak pernah bisa memilikinya. Hidup ini terasa tidak adil. Tapi, aku selalu diceramahi oleh ibuku sebelum tidur. Hidup ini adalah perjalanan menuju sebuah tujuan. Untuk mencapai tujuan tentu saja ada ujian. Barang siapa dapat lolos ujian, pasti akan mendapat tujuannya. Dan bla bla bla. Masih banyak lagi. Meski waktu itu aku belum paham. Tapi aku yakin aku pasti akan mengerti saat aku telah dewasa nanti.
            Setiap hari aku mengaji di seberang dusun. Aku mengaji sehabis zuhur sampai setelah asar. Di sanalah aku menemukan banyak orang. Aku memiliki banyak teman. Aku tak pernah diantar ataupun dijemput untuk pergi mengaji. Sebab, selalu ada orang yang melindungiku, kakakku. Kami selalu bersama. Berangkat dengan jalan kaki kira-kira 15 menit. Kadang diterpa panas dan hujan. Tapi kami tak pernah berhenti untuk mengaji, sebab kata ibu bahwa beliau tak ingin anak-anaknya seperti beliau. Harus lebih maju. Meski awalnya agak malas, tapi karena telah terbiasa, kami pun menjadi senang menjalaninya. Yang lebih menguntungkan bahwa kami tidak dipungut biaya untuk mengaji.
            Namun, ujian itupun dating semakin berat. Suatu sore tanggal 16 Agustus tepat peringatan peristiwa Rengasdengklok, sehabis solat asar di tempat mengaji aku ingin sekali segera pulang. Sebab aku tak ingin ketinggalan cerita Power Ranger. Ya itu film favoritku. Meskipun aku tak punya TV, tetapi ada tetangga yang baik hati. Biasanya aku selalu bergandeng tangan saat menyeberang dengan kakakku. Tapi ini entah kenapa, aku ke luar lebih dahulu dan berlari menuju jalan raya. Tanpa menengok kanan dan kiri aku berlari menyeberang. Bruk . . . Tubuh mungilku terpental jauh dari jalan raya. Ya, aku tertabrak sepeda motor. Saat itu pula aku tak sadarkan diri.
            Aku tersadar saat sebuah senyum khas menyambutku. Tetapi, mengapa menangis? Aku masih belum sadar sepenuhnya. Yang aku bisa katakana, “ Ibu aku kenapa? Kuk terasa nyeri-nyeri tubuh ini?”. Belum sempat aku mendapat jawaban ibuku, aku sudah melayang-layang lagi. Aku tak sadarkan diri lagi. Yang kuingat saat itu tangan, kaki, dan kepalaku telah penuh dengan perban. Menurut cerita ibuku, aku telah dibawa ke puskesmas.
            Aku yang tak sadarkan diri lagi membuat orang tuaku dan para tetangga panik. Ayahku membawaku ke RSUD Muntilan untuk diperiksa lebih lanjut. Aku dibawa dengan meminjam vespa tetangga. Aku digendong ibuku, dipeluk sangat erat, seolah-olah tak mau akan kehilangan aku.
            Ibuku sangat panik sebab aku masih juga tak sadar meskipun sudah dikasih minyak kayu putih. Tapi, yang kuingat bahwa aku masih bisa merasakan suara-suara kendaraan sayup-sayup kadang kala meskipun mataku sulit untuk dibuka, tetapi aku tak bisa bilang kepada ibuku bahwa aku baik-baik saja. Bahkan untuk mengeluarkan desahan saja terasa sulit. Yang kuingat, aku terasa nyaman dipelukan ibuku. Aku tak ingin apa-apa lagi, cukup dengan pelukan ini Tuhan.
            Ayahku yang mengetahui ibuku begitu cemas, mengajak mampir ke warung makan sebelum sampai ke RSUD. Ibuku kebingungan dengan sikap ayahku. Cerita ibuku bahwa bila aku diminumin teh hangat masih mau, itu tandanya tidak apa-apa. Akhirnya dipesanlah satu gelas teh hangat. Dengan penuh kesabaran ibuku menyuapai sesendok demi sesendok teh hangat ke dalam mulutku meskipun aku mengerti pasti perasaan ibuku sangat berantakan. Tak terbayangkan bila harus membayar biaya yang mahal. Tetapi, Tuhan Maha Penyayang. Walau hanya tiga sampai lima sendok makan berhasil memasuki tenggorokanku. Ibuku menjadi sedikit lega. Ya, aku sayup-sayup sadar bahwa aku meminum teh hangat. Betapa aku teringat, aku ingin teriak dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja, janganlah cemas. Tetapi, sampai sini saja ingatanku merekam.
            Aku tersadarkan saat matahari memancarkan sinar ke mukaku. Sayup-sayup terdengar kicauan burung. Dan kurasakan kepalaku tengah dielus-elus. Aku mencoba membuka mataku. Terima kasih Tuhan, Kau telah memberiku kesempatan. Kubuka sedikit demi sedikit. Kusadari selang infus telah terhubung dengan tubuhku. Terasa ngeri melihatnya. Kulihat senyum merekah di kedua bibir ibuku. Tapi, kujumpai tetesan air mata mengalir di kelopak matanya. Andai aku bisa saat itu, kan kugerakkan tanganku untuk menghapusnya. Tapi sayang, untuk mengeluarkan suara saja terasa masih sulit. Aku merasa aku terlahir kembali. Aku memerlukan belajar untuk berbicara.
            Ibuku yang senang melihat aku sudah siuman, menanyakan padaku penuh kasih sayang, “Nak, masih sakit? Bagian mana yang sakit? Biar Ibu pijat.”. Namun, yang ke luar dari mulutku hanya kata “Ibu”. Aku yang masih belum bisa lancar untuk diajak berbicara. Untuk mengeluarkan kata-kata bahwa aku merasa haus saja sulit. Tapi, dengan terbata-bata aku bisa melakukannya.
            Aku tinggal di rumah sakit kurang lebih selama satu bulan. Hal itu cukup membuatku terbiasa dengan suara ambulan dan dengan bau obat. Awalnya aku sulit untuk makan karena serasa mau muntah saat bau obat. Tapi lama-kelamaan menjadi hal yang biasa. Aku senang seklai karena setiap dibesuk oleh guru TK-ku, wali kelas TK kecilku, atau dengan sahabat-sahabat ayah dan ibuku, pasti aku dikasih oleh-oleh ataupun uang. Itulah asiknya kalau kawan lagi sakit.
            Dan senyum kegembiraan itu menghiasi bibir kedua orang tuaku saat aku dinyatakan negative gagar otak meskipun gagar otak kecil. Senyum bahagia merekah dikedua bibir kakakku saat melihatku sudah di depan pintu rumah. Dia memelukku dengan erat seolah tak ingin aku celaka lagi. Tatapan mata bahagianya mensyaratkan bahwa dia sangat menyesal telah lalai menjagaku sampai aku celaka. Serasa sudah tak sabar dia mengajakku untuk segera bermain lagi. Tetapi aku masih belum boleh untuk bercapek-capek ria. Yang bisa kukerjakan saat itu hanyalah di rumah duduk manis. Bahkan membantu ibuku saja hanya boleh menyapu. Proses itu berlangsung selama satu bulan. Sebab ujian belum selesai.
            Aku memang secara fisik telah baik-baik saja, tetapi secara pikologi aku dinyatakan pesakitan. Inilah yang menyebabkan aku tidak mau kembali lagi ke sekolah. Ya, penderitaanku belum selesai. Gejala awal ini terjadi saat aku takut bertemu orang lain. Meskipun itu adalah kakek nenekku, tetapi aku sangat takut. Tingkat ketakutanku ini sudah berpangkat-pangkat. Yang aku tahu orang itu hanyalah aku, ayah, ibi, dan kakakku, tak ada orang lain. Yang aku rasakan waktu itu bahwa orang asing serasa ancaman bagiku. Melihat mereka saja aku merasa takut meskipun itu dari kejauhan.
            Kawan, bisakah kau bayangkan betapa menderitanya aku??? Aku ingin bermain lagi dengan teman-temanku, tetapi apa daya. Aku tak bisa menolak keinginan dari dalam diriku. Bak ibarat orang lain adalah setan yang siap mengganggu keimanan orang. Setiap aku mencoba untuk bertemu oaring lain, aku tak kuat lagi. Bahka pernah aku didekati orang, aku menangis meronta-ronta ketakutan, seolah aku ingin berlari, tapi apa daya kakiku terasa lemas tak bernyawa. Kau bisa bayangkan kawan, betapa takutnya aku, betapa menderitanya aku. Aku menjadi orang yang terisolasi selama kurang lebih satu tahun.
            Aku seperti orang yang terganggu jiwanya. Aku beruntung karena aku tidak dinyatakan gila sehingga harus mendekam di rumah sakit jiwa. Aku phobia dengan manusia. Tapi aku tidak takut dengan hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati. Kadang kala aku bias merasa tenang setelah aku bercakap-cakap dengan sesuatu. Waktu itu yang sering aku ajak bicara adalah ala mini. Aku kadang bicara dalam hati, tapi juga bercakap-cakap. Namun, meskipun begitu tak ada jawaban dari alam. Aku mengerti. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasakan agar aku terasa lega. Kadang kala sifat aku ini membuat aku sedikit introvert kepada orang lain.
            Penderitaanku ini membuat aku untuk tidak masuk sekolah hamper setahun. Aku masih ingat sekali. Setiap hari Jum’at TK tempat aku sekolah pasti jalan-jalan keliling dan pasti lewat rumahku. Hal yang waktu itu aku sebeli tetapi yang akhir-akhir ini membuatku bahagia saat memikirkannya adalah teman-temanku. Setiap mereka jalan melewati rumahku, pasti mereka meneriakkan namanku, “ Mbak pipiet ayo berangkat sekolah. . .”.    Betapa teman-temanku merindukan aku, mereka menyayangiku.
Aku yakin kepada Tuhan, bahwa segala sesuatu yang diciptakan pasti memiliki jodoh, ada laki-laki pasti adaperempuan, ada baik pasti ada buruk, begitu juga ada penyakit pasti ada obatnya. Namun, untuk mencapai kesembuhan itu perlu kesabaran.
            Aku bisa sembuh dari kegilaanku pada orang dari seorang sahabatku, teman kecilku. Namanya Ovi. Kukenal dia dari kebiasaanku yang suka melihat anak-anak SD belajar. Oh ya kawan, hal yang dulu aku sukai adalah melihat anak-anak SD sekolah setiap pagi. Aku melihatnya tentu saja dengan sembunyi di pojokan rumah yang sepi. Aku suka melihat teriakan mereka saat di suruh membaca dan belajar. Ehh kembali lagi kawan. Ternyata Ovi juga memiliki kebiasaan yang sama denganku. Bulan awal kita hanya sekedar melihat saja. Dia ada di pojokan sebalh barat dan aku di sebelah timur, kita berhadapan tetapi terpaut jarak 8 meteran. Ya, karena kebiasaan melihat lama-kelamaan kami tersenyum. Dari senyum kami beranjak saling melambaikan tangan. Serta yang terakhir degan isyarat memanggil, dia datang menemuiku. Kami berkenalan. Lucu sekali kenalan kami. Akhirnya setiap pagi kami selalu bersama-sama melihat anak-anak SD bersekolah, tentu saja dia yang ke tempatku. Akibat dari kenalan itu aku sedikit tidak takut dengan orang. Aku mulai bertemu dengan orang tuanya Ovi. Ternyata mereka baik-baik, tak seperti yang aku bayangkan. Setiap pagi sampai siang kami selalu bermain bersama sebab kami sama-sama tidak bersekolah.
            Ibuku yang melihat perkembanganku ini, mulai mengajak aku ke luar rumah, missal diajak untuk ikut arisan, diajak ke pasar, diajak berjualan, dan lain-lain. Ibuku yang selalu menginginkan pendidikan anaknya tinggi, tentu menginginkan aku bersekolah kembali. Obrol demi obrol dengan orang tuanya Ovi, akhirnya Ovi diperbolehkan untuk sekolah. Tentu saja ibuku melakukan itu karena permintaanku. Aku ingin sekolah asalkan dengan Ovi.
            Akhir cerita aku dan Ovi bersekolah bersama. Kami hanya bersekolah setahun, tapi langsung lulus. Awalnya aku bersekolah diantar dan dijempu ibuku, walaupun sudah ada Ovi. Parahnya bahkan aku harus ada ibuku yang menemaniki selama belajar. Lama-kelamaan ibuku mencoba untuk mengurangi. Mulai dari menemani di dalam kelas, beranjak menunggui di lar kelas, ke tingak antar jemput saja, dan yang terakhir aku berani berangkat ke sekolah hanya bersama Ovi.
            Meskipun ketakutanku sudah berkurang sangat banyak tetapi aku belum bisa berbicara di depan orang banyak. Aku masih merasa takut berbicar di depan orang banyak. Aku bisa berkeringat dingin banyak, tangan dan kaki gemetar, dan suaraku terasa aneh. Yang lebih tepatnya lagi aku berbicara bisa sangat cepat, seolah-olah tanpa titik dan koma. Bicara biasanya saja kata teman-temanku aku cepat.
            Ibuku yang mengetahui aku seperti ini memasukan aku di tempat kursus bahasa Inggris sejak aku kelas tiga SD, sebab setiap hari Sabtu di tempat les tersebut diadakan pidato untuk setiap siswa. Seperti kuliah umum, siapa saja ikut, dari yang SD sampai SMA. Waktu itu hasilnya aku sudah tidah grogi lagi berbicara di depan umum. Bahkan aku selama tiga tahun sekolah di SMP aku ditunjuk untuk mewakili teman-teman dalam acara wisuda kelas tiga.

BY: PIPIT
            Aku selalu ingat pesan ibuku. Pesan ini akan aku ingat kapan dan di manapun. “Kalau kamu tidak bersalah janga malu.” Ya itu hal yang dulu bisa membuat aku berdiri lagi, membuat aku percaya akan diriku, membuat aku semangat untuk mengemukakan pikiran-pikiranku.
            Kawan, seperti itula ibuku membantu aku bangkit. Cukup sederhana. Makanya ibuku melatih aku agar aku memiliki mental kuat. Dan hasilnya bisa kau lihat kawan. Bila kau bertemu dengan ibuku, sampaikan rinduku padanya. 

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih