Membangun Sebuah Kepercayaan Diri



Delapan belas tahun sudah aku hidup berdampingan dengan dirinya. Hampir setiap waktu ku lalui bersamanya. Susah, senang, dan berbagai rintangan kami hadapi berdua. Aku menyukai, menyayangi, dan mencintai laki-laki itu. Bahkan mungkin bisa dikatakan aku tak dapat hidup tanpanya. Dia adalah teman, sahabat, saudara, dan lebih tepatnya dia adalah adikku, adik kandungku. Selisih usia satu tahun membuat kami begitu dekat. Segala hal dapat diperbincangkan dengan dirinya. Aku bahkan lebih sering menceritakan masalahku dengannya daripada dengan orang tua kami. Dia anak yang menyenangkan tapi tentu tak selamanya seperti itu, terkadang dia juga menjengkelkan. Dia memang lebih muda dariku tapi bukan berarti aku dapat memerintahkan apapun kepadanya sesuka hatiku.
Aku dan Bobby hanya dua bersaudara. Lengkap sudah kebahagiaan ayah dan ibuku dengan lahirnya dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kami adalah satu-satunya harta berharga yang mereka miliki. Sejak kecil kami dididik oleh orang tua kami agar kelak kami tumbuh menjadi anak yang berbakti dan memiliki masa depan yang cerah. Untuk itulah orang tua kami selalu memberikan yang terbaik, terutama dalam hal pendidikan. Sejak pendidikan awal, kami disekolahkan di sekolah yang dapat dibilang sekolah favorit. Dari TK hingga SMA kami selalu berada di sekolah yang sama. Menyenangkan memang, berada di sekolah yang sama. Kami dapat belajar bersama dan yang paling seru adalah kami dapat bergosip tentang guru-guru kami. Aku selalu menceritakan segala sesuatu tentang seisi sekolah kepada adikku. Karena aku kakak kelasnya, jadi aku mengetahui segala hal tentang sekolah terlebih dahulu termasuk pula sifat-sifat guru kami. Akan tetapi tak selamanya satu sekolah dengannya membuat ku senang. Terkadang ada beberapa hal yang membuatku kesal, seperti aku yang selalu mendapat giliran untuk membayarkan SPP adikku tapi dia tak pernah mendapat giliran.
Kami memang bersaudara, namun bukan berarti segala hal yang ada pada diri kami haruslah sama. Kami berbeda, ya kami memang berbeda. Bukan perbedaan jenis kelamin yang ku maksud disini. Entah berawal dari mana perbedaan ini muncul. Dia adalah anak yang pintar, anak yang cerdas. Aku tak mengerti apakah dia memang ditakdirkan untuk tumbuh menjadi anak yang cerdas atau memang karena usahanya sehingga dia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Mendapat pendidikan di sekolah yang sama tak berarti aku pun juga sepintar dirinya. Dapat dikatakan aku hanyalah orang yang beruntung karena dapat mengenyam pendidikan di sekolah yang favorit. Otakku tak sepintar adikku dan teman-temanku, bahkan aku sering membutuhkan waktu lama untuk mencerna pelajaran yang diberikan. Ketika kami berada di bangku SD dia lebih sering berada di kelas A, sedangkan aku selalu berada di kelas B. SD Muhammadiyah Sapen, sekolah kami, memang menempatkan siswa-siswanya berdasarkan nilai. Apabila nilai rapornya baik maka siswa tersebut menempati kelas A, begitu pula sebaliknya apabila nilainya dibawah standar maka ditempatkan di kelas terendah yaitu kelas E. Awalnya aku memang merasa baik-baik saja. Akan tapi lambat laun aku merasa seperti anak tiri. Orang tua kami lebih bangga pada dirinya ketimbang denganku. Nilai-nilainya yang bagus dan perolehan rangkingnya yang hampir selalu mendapat sepuluh besar membuat orang tua kami lebih bangga kepadanya. Di akhir masa-masa ku berada di bangku SD aku belajar keras. Aku pun juga ingin mendapat pengakuan dari ayah dan ibu. Akhirnya pengumuman kelulusan pun tiba dan aku mendapat nilai yang lumayan bagus, tak ada nilai tujuh disana yang ada hanya angka delapan dan sembilan.

Aku memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah yang aku impikan. Aku pun diterima disana. Selama setahun kami pisah sekolah. Tibalah saatnya adikku untuk menjalani ujian kelulusan SD. Singkat cerita, dia pun juga diterima di sekolah yang sama denganku, di SMP N 8. Kami bersama lagi. Akan tetapi seperti biasanya, dia selalu langganan mendapat rangking sepuluh besar. Sedangkan diriku? Seperti biasanya pula ayah dan ibu juga bangga kepadanya. Di hadapan saudara-saudara kami, ayah dan ibu lebih sering menceritakan tentang kesuksesan adikku. Telinga ku terasa berdengung setiap kali mendengar pembicaraan mereka tentang adikku. Ya, hatiku memang terluka tapi pantaskah aku membencinya, membenci adik kandungku sendiri. Aku tak berhak membencinya karena memang dia tak salah. Hari-hari di masa SMP ku lalui bersamanya sampai akhirnya tibalah saat-saat menegangkan. Aku harus melalui masa-masa UAN. Aku mulai belajar keras agar aku dapat diterima di sekolah yang ku impikan. Tibalah saat pengumuman kelulusan dan aku dinyatakan lulus bahkan aku tak menyangka tertera angka sepuluh di pelajaran matematika. Hati ku senang begitu juga dengan kedua orang tua ku. Aku dapat membuktikan bahwa aku pun juga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk mereka. Setahun kemudian adikku juga diterima di sekolah yang sama. Kami bersama lagi di SMA N 1, di sekolah yang kami impikan.
Hal yang sama pun terulang kembali. Dia tetap mendapatkan rangking sepuluh besar bahkan bukan hanya sekelas melainkan sepuluh besar sesekolah. Hati ku miris. Aku tahu aku yang salah, kalau aku ingin seperti dirinya, maka aku pun juga harus giat belajar. Kalau aku ingin dibanggakan oleh ayah dan ibu, maka aku harus berusaha keras. Ketika SMA aku bahkan minta diajari oleh adikku, terutama pelajaran fisika. Tak heran dia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ku berikan meskipun aku satu tingkat diatasnya karena dia termasuk tim olimpiade fisika di sekolah kami. Meskipun keikutsertaannya hanya sampai tingkat propinsi tapi itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Tiba saatnya aku untuk menginjak bangku universitas. Aku memilih untuk melanjutkan ke jurusan farmasi di sebuah universitas ternama, akan tetapi Tuhan berkata lain. Aku tak diizinkan untuk berada disana. Sekarang aku berada disini, di jurusan pendidikan kimia. Kalau boleh jujur saat itu aku merasa terpuruk. Aku kesal, kesal pada diriku sendiri. Aku juga marah tapi harus kepada siapa ku ungkapkan perasaan ku. Haruskah aku menyalahkan Tuhan? Aku merasa tersingkirkan, aku malu. Malu pada semua teman-teman ku, pada semuanya. Mereka bisa diterima di pilihan mereka masing-masing, di universitas ternama, di universitas yang aku inginkan. Aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa seharusnya aku pun juga berada di sana. Tapi tidak, kenyataannya sekarang aku berada disini, di UNY. Hanya segelintir siswa yang berasal dari sekolah ku yang berada disini.
Hari-hari pertama ku ketika berada disini ku lalui dengan kemalasan. Aku sudah tidak percaya diri. Entah kepercayaan diri ku hilang kemana. Setiap yang bertanya, termasuk para senior, tentang asal sekolah ku, aku selalu malas untuk menjawab dari sekolah mana aku berasal. Ketika ku jawab pertanyaan mereka, tak sedikit dari mereka yang selalu berkata “hah benarkah” atau “lalu kenapa sekarang memilih di UNY, kamu nyasar ya?”. Huh, aku bosan. Aku iri pada teman-teman ku yang lain. Berulang kali aku berharap agar waktu dapat terulang tapi itu sebuah permohonan yang konyol. Selama satu semester aku merasa tak ikhlas untuk kuliah disini. Aku merasa tersingkirkan karena teman-temanku banyak yang berada di universitas-universitas ternama. Bukan maksudku untuk menjelekkan universitas yang ku tempati sekarang tapi aku belum merasa nyaman untuk berada disini.
Semester dua pun tiba juga. Aku sudah mulai merasa nyaman dengan tempat ku berada. Aku mulai mendapat teman-teman yang menyenangkan. Aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Aku berpikir tak ada gunanya untuk terus menyesali yang sudah terjadi. Aku mulai membangun kepercayaan diri ku lagi. Toh kalau nanti aku lulus pekerjaan yang akan ku jalani cukup mulia, mencerdaskan anak bangsa. Ya aku mulai percaya diri lagi. Kalau ditanya orang tentang dimana sekarang aku berada, aku sudah tidak malu lagi untuk menjawabnya. Akan tetapi bukan berarti dapat dikatakan bahwa aku telah mencintai universitas ku ini, terlalu cepat untuk berkata demikian. Ini butuh proses.
Semester dua tiba berarti tiba pula saatnya untuk adikku belajar keras. UAN dan ujian masuk universitas telah menanti di depan matanya. Aku tahu dia belajar dengan keras, sangat keras malah. Dia sangat berambisi untuk dapat melanjutkan kuliah di jurusan teknik elektro. Siang malam aku selalu mendoakannya, memohon agar kelak dia diterima di pilihan yang terbaik dan pilihan yang terbaik adalah pilihan yang diinginkannya. Aku yakin, orang tua kami pun pasti juga berharap hal yang sama. Akhirnya doa kami pun dikabulkan. Dia diterima di teknik elektro UGM. Tentu kami semua merasa senang. Orang tua ku sangat bangga dengannya. Bahkan kami merayakan keberhasilan adikku. Akan tetapi entah apa yang terjadi dengan diri ku. Ku akui aku memang berharap agar dia bisa diterima dan sekarang dia sudah diterima, aku pun juga senang tetapi tak sepenuhnya. Ada perasaan yang aneh di hati ku. Mungkinkah aku iri, kesal, atau bahkan membencinya? Aku tak mengerti. Sekarang semuanya membicarakan keberhasilan adikku. Mereka bahkan membandingkan ku dengan adikku. Haruskah setiap kali kenaikan kelas, setiap kali kelulusan aku selalu mendengarkan ini? Haruskah aku selalu menitikkan air mata ketika mendengar ini? Aku memang berbeda dengannya tapi janganlah selalu membandingkan ku dengannya. Ini menyakitkan. Berulang kali aku membangun kepercayaan diri ku untuk menghadapi hal semacam ini dan baru saja aku mendapatkan kepercayaan diriku dan sekarang hilang lagi, entah terbang kemana. Aku harus membuka luka lama lagi. Sekarang aku lebih sering berpikir bahwa seharusnya aku pun juga satu universitas dengannya. Pulang dan pergi kuliah ke tempat yang sama, memakai jas almamater yang sama pula, dan orang tua kami bangga padaku juga adikku. Tapi tidak, kenyataannya tak seindah itu.
Kalau bukan karena teman-teman baru ku mungkin aku sudah tidak betah berada disini. Mereka sangat baik dan aku menyukai mereka. Mereka lah satu-satunya alasan ku untuk tidak meninggalkan tempat ini. Aku harus bisa bangkit lagi, sangat tak pantas apabila aku bersedih diatas kebahagiaan adikku. Entah apa yang akan terjadi di masa depan tapi aku berharap agar masa depan kami cerah, agar kelak kami benar-benar tumbuh menjadi dewasa, menjadi anak yang dapat menjunjung nama orang tua kami, agama kami, dan negara kami. Meskipun sekarang aku berada di tempat yang berbeda dengannya tapi aku berharap agar kelak kami dapat selalu mempersembahkan yang terbaik untuk kedua orang tua kami. Mungkin ini salah satu jalan untukku agar aku dapat tumbuh menjadi dewasa. Menghadapi masalah seperti ini selalu membuatku untuk selalu berlapang dada, menerima apa yang diberikan, dan yang pasti aku menemukan berbagai cara untuk terus dapat membangun kepercayaan diriku yang selalu hilang.

BY: ANGGI

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih