Sore
menjelang senja , ketika itu aku masih beridentitas sebagai seorang bocah manja
yang tidak bisa berbuat apa tanpa ditemani orang tuaku, bahkan sebutan
‘’cengeng’’ pun sudah tak asing lagi terlintas bahkan masuk kedalam telingaku
dan terkadang terus masuk kedalam
hatiku.
“zikri,,
zikrii,, apa yang bisa qmu perbuat dengan ini semua “ ungkapku dalam hati.
Bisikan itulah yang menemaniku ketika aku terpaku
duduk bersandar pada dinding kayu yang memanjakan otot punggungku. Ketika
segala sesuatu yang kuanggap itu sebagai masalah yang harus kuselesaikan. Aqu
duduk tak hanya bermenung, berharap Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga
untuk mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung sekian lama ini.
Tepatnya masa
dimana aku baru duduk dikelas 6 SD. Tepatnya ketika sibuk memikirkan ‘’akan
dibawa kemana hidup ini’’ yang dinaungi rasa kebimbangan.
Selang beberapa detik yang telah menemani bermenung,
‘’ Dug,.,dug,.,’’ hentakan kaki diatas
lantai papan yang sangat kencang . beliau
berjalan seperti membawa beban
yang sangat berat , begitu lambat.
Kulihat dari
balik daun pintu kayu itu, ternyata dia adalah bundaku.Ketika itu bunda sedang
hamil besar ,mengandung adikku yang ke
tiga. Bunda datang menepuk pundakku, bak malaikat yang datang dengan wajah yang
gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir
wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya menghancurkan seluruh duka yang
bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku yang sudah patah dan rengat memikirkan betapa bingungnya memilih jenjang pendidikan
setelah aku tamat SD.
‘’ Ngape
engkau bermenung aje nak’’ menyapaku sambil menghampiriku dengan
raut penasaran diiringi raut muka
kelelahan.
Aku
tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang menyengatkan
listrik ribuan voltase itu.
‘’Tak ade bunda’’. Berniat untuk mengelak
dari petanyaan tersebut.
‘’ tuch
ngape bemenung jhe..,/??”
‘’tenang jhe la bunda datang dengan
membawa penyelesaian
kepade nkau.,”
“Benarkah..,.,??”Tanya ku
meragukannya.,..,
‘’
jaganlah hanya berpangku tangan
saja.,.,.,!!” ceritakan.,.!!
‘’ ku hanya ingn menjadi putra yang yang
dapat membanggakan wahai nkau ya bunda..,’’
‘’hmm.,,”
beliau tersenyum dengan pandangan yang
sangat bermakna.,,
Akhirnya wanita yang melahirkanku itu mengeluarkan
beberapa kata yang dapat membimbingku dalam menuju pencapaian yang sangat
memmbingungkan hati dan fikiranku saat itu.
‘’ bunda tak minta
banyak dari nkau nak’’
‘’ bunda mau nkau
jadi anak yang shalih dan satu yang bunda harapkan bunda ingin ketika bunda sudah tak menghirup segarnya
udara bumi ini, ketika bunda sudah tak malihat indahnya dunia ini, bunda ingin
nkau lah yang menyolatkan bunda ketika
bunda terbaring tak bernyawa.’’
Mendengar itu jatuhlah air mata dipipiku, begitu juga
dengannya. Sore itu menjadi begitu indah. Lepaslah segala beban yang
mengahntuiku, ternyata tak banyak yang diinginkan orang tuaku, dan beliau tak
menilaiku dari apa yang telah aku buat selama ini.
‘’
sudahlah.,, jangan cengeng,,!! Anak bujang koq nagngis.,.!!”. ungkapnya sambil mengejekku.
‘’pegi mandi dah
hampir malam nee..,’’ tambahnya mnyuruhku mandi.
Malampun menhampiri menutupi senja, ketika aku telah
mengerti apa yang diinginkan bunda. Aku pun berbaring bersiap masuk ke alam
mimpi indah ku malam itu. Namun kelopak masih enggan menutupi bola mata. Aku
masih memikirkan perbincangan pada sore hari tersbut. Aku masih memikirkan apa
yang menjadi keinginan bunda yang diungkapnya pada sore itu.
Tak lama aku memandang langit langit ruang kamar malam
itu, terlintaslah dibenakku tentang jawaban dari perbincangan kami dan apa yang
menghantuiku tentang pendidikan lanjutku. Yang menyatukan antara keinginan
bunda dan keinginanku selama ini. Pesantren i’anatuth thalibin yang terletak
delapan kilometer dari gubuk kediaman ku. Tanpa fikir panjang membasahi muka
dengan dengan air wudhu menjadi hal yang pertama aku lakukan setelah dapatnya
ide cemerlang tersebut. Aku pun langsung melaksanakan shalat sunnah istikhoroh,
dan tak sedikitpun keraguan mngganggu keputusanku, keinginan menyambut fajarpun
sangat menghiasi fikiranku malam itu.
‘’ Ya allah panjang umurku hingga aku
dapat menyambut fajarmu esok hari’’
Pagi itu
menjadi pagi yang sangat indah, ketika aku menyampaikan apa yang menjadi
keputusan yang ingin menjadi mandiri.
‘’ ayah,, bunda.,. saya mau tinggal di
pondok’’
‘’ maksudnya.,.’’ tanya mereka penuh
heran.,.
‘’ saya mau sekolah di pesantren i’anatuth
thalibiin’’
‘’ berarti abang tak tinggal dirumah
lagi.,.’’ sahut adikku ,
menyambung pembicaraan kami yang ketika itu sedang sarapan pagi bersama.
Ternyata jawaban yang kuharapkan keluar dari lisan ayahku
yang menjadi pemegang keputusan tertinggi di keluarga kami,
‘’ semuanya kami
serahkan kepada nkau nak.,.’’ ungkapnya penuh harapan kepadaku.
Siang itu aku dan ayah langsung pergi ke pesantren yang
aku tuju tersebut. Untuk mendaftarkanku masuk kesekolah itu. Segala
administrasi telah dipenuhi hingga pada hari itu juga aku sudah sah menjadi
santri baru dipondok tersebut.
Seminggu setelah itu, tibalah masanya dimana aku akan
berpindah tempat tinggal dan meninggalkan segala bentuk gaya kehidupan dimassa
lalu. Aku kan meninggalkan orangtua dan berusaha menjalani hidup dengan
sendirinya. Kemandrian memang suatu yang menjadi modal penting bagi kehidupan
seorang santri.
‘’ aku harus bisa
., dan terus berusaha.,.’’
Tepatnya pada sore kamis, aku bersiap mengangkat barang
barang yang menjadi kebutuhan selama tinggal dilemari.segala perasaan timbul
ketika itu, aku bukanlah seorang anak cengeng seperti yang disangka oleh orang
sebelumnya. Segala bentuk nasihat aku terima dari orang orang terdekatku.
‘’ jaga kesehatan ya bang..,,.’’ Adikku melepaskan kepergianku.
‘’ya dik... jangan nakal yaa.,
jangan sakiti ayah dan bunda.,’’
pesanku membalas ucapan mereka.
Tak tau apa yang kurasakan saat itu, begitu banyak
perasaan yang menghantuiku.
Ayah pun ikut menasihatiku, kata itulah yang membuatku bergikr
bahwa aku akan menjadi orang berhasil bagi nusa dan bangsa.
‘’ lihatlah batang umbi yang
ada didepan rumah itu.,.! tanpa ditanam , dirawat bahkan tanpa perwatan batang umbi itu dapat
tumbuh subur, begitulah kehidupan ini kita harus dapat hidup kapan dan
dimanapun tanpa harus berharap dan bergantung kepada orang lain’’. Begitulah ungkapnya dengan bijak.
Aku pun berangkat bersama keluargaku. Sesampainya disana
aku merasa bahwa kehidupan baruku akan segera dimulai. Disana aku menemui teman
teman baru yang nasibya sama seperti aku. Aku berfikir bahwa apa yang mereka
rasakan akan sama sepeti apa yang aku rasakan.
Keluargaku
pulang dengan keadaan sedih juga , karena telah meninggalkanku. Perasaan
kesepian menemaniku dalam menjalani kehidupan dipondok itu. Hal itu tejadi
beberapa waktu dimasa aku masih menjadi santri baru.
Seminggu setelah itu.
‘’ zikri., zikri.,’’
teman- temanku memanggilku dalam keadaan terburu-buru.
‘’ ada apa.,.?/’’
sahut ku penuh keheranan.
‘’ kamu dipanggil ustadz.,.’’ dia memberi tahu kepadaku.
‘’ ooo..
terimakasih’’
Akupun mendatangi ustadz yang memanggilku tadi, melangkah
dengan perasaan ragu dan bimbang.sesampainya disana.
‘’ benar ananda nuzikri.,.??’’ tanya ustadzz
‘’ benar.,.’’
‘’ pulanglah
kerumah.!!!’’
‘’ knapa ya
ustadzz.,.,?’’ tanya ku heran.
‘’ bunda mu telah
melahirkan adik bungsumu’’.,. ungkapnya.
Dengan perasaan senang hingga aku meneteskan air mata
bahagia , aku langsung mengemas barang barangku persiapan pulang kerumah.
Sesampainya dirumah kulihat cahaya yang sangat terpancar
dari sudut –sudut rumahku.cahaya tersebut tak lain tak bukan merupakan cahaya
kebahagiaan yang hadir setelah hadirnya adik bungsuku.
Ternyata
kehidupanku berubah menjadi lebih baik , berputar 360 derajat dari
biasanya.begitu juga dengan keadaan keluargaku. Dengan masuknya aku ke pondok
pesantren tersebut memberi warna baru bagi segalanya. Aku dapat menghargai
setiap detik waktu yang kulewati. Takku sia-siakan sedetikpun kebahgiaan
bersama keluargaku. Akupun sudah sudah mulai terbiasa dengan susana pondok yang
banyak mengajarkanku banyak hal. Satu hal yang ingin aku sampaikan.
‘’ suatu harapan
yang besar akan kita dapatkan dengan pengorbanan yang besar pula’’
‘’I love my family’’
BY: ZIKRI
0 komentar:
Posting Komentar