Sepengal Kisah ku



Perjalanan hidup manusia tidak ada yang sama. Ada kalanya suka, duka, sedih, gembira. Masing-masing memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah. Begitu pula aku, seorang mahasiswa pendidikan kimia FMIPA UNY yang dulunya tak pernah membayangkan bisa menjadi bagian dari keluarga besar universitas pendidikan yang katanya bagus menurut pandangan masyarakat. Aku Tika Pangesti, anak dari keluarga sederhana yang berasal dari Kebumen. Walaupun aku sering dianggap lucu karena bahasa ngapak yang sering aku gunakan, tapi itu lah keunikan aku.  Aku anak pertama dari tiga bersaudara dan merupakan anak perempuan satu satunya di keluargaku.
Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh dengan ujian. Mulai dari sakitnya nenek (ibu dari bapak) selama lebih dari 3 bulan dan akhirnya beliau meninggal dunia. Setelah nenek  meninggal, ibu jatuh sakit. Sakitnya beliau cukup lama, sekitar satu bulan lebih. Karena ibu sakit, ayah tidak dapat bekerja. Saat itu aku sedang duduk di bangku kelas 3 SMA dan sedang menghadapi detik detik Ujian Nasional. Perhatianku pun terbagi. Aku mempunyai cita-cita ingin kuliah di arsitektur UI atau STAN pada waktu itu, tetapi aku tidak bisa menutup mata terhadap apa yang sedang terjadi pada kondisi keuangan keluarga. Ayah aku seorang tukang kayu yang hanya bekerja jika ada pesanan. Selain itu, ada warung sederhana di rumah untuk membantu mencukupi kebutuhan yang kian hari kian bertambah.  Bukannya egois, tetapi ini demi masa depan, aku tetap ingin melanjutkan kuliah. Mau tidak mau aku harus mencari beasiswa atau paling tidak melanjutkan sekolah di sekolah tinggi ikatan dinas. Akupun mengajukan beasiswa seribu anak bangsa, siapa tahu bisa lolos. Harapan demi harapan selalu berenang renang di otakku. Mungkin memang bukan jalanNya, aku tidak lolos. Itu membuat aku kehilangan harapan aku dan berpikir dua kali untuk belajar di universitas idamanku.  Ya sudahlah, mugkin memang belum jalanNya. Harapa n masuk UI musnah. Selanjutnya, berpikir ke depan untuk  persiapan USM STAN. Setiap hari belajar, melakukan try out mandiri, do’a tak kunjung henti di panjatkan.  Namun, lagi-lagi kesabaranku diuji, STAN melambaikan tangan padaku. Lagi-lagi ditolak. Aku tidak mengikuti SNMPTN 2009,saat itu aku tidak bisa berpikir jernih. Semua terasa hampa. Tapi ya sudahlah, mungkin memang belum jalanNya.  Kembali harus bersabar dan husnuzan terhadap rencana Tuhan yang akan indah pada waktunya.
Detik-detik setelah itu, aku menjadi orang yang pendiam dan menutup diri. Hampir semua orang mempertanyakan. Dimakah aku kuliah sekarang? Dan memperbandingkan aku dan teman-temanku. Sebagian besar dari mereka heran kenapa aku tidak diterima di universitas manapun saat itu. Ditambah lagi, aku dulunya duduk di kelas XII IPA 1 yang notabene merupakan kelasnya anak-anak pintar. Selain itu, Aku termasuk dalam sekelompok anak yang kami beri nama Conenx, bukan geng, hanya saja kami sering bersama dan memiliki visi yang sama. Belajar di unversitas terbaik di Indonesia. Personel Conenx ada sepuluh anak. Semua dari mereka kecuali aku sudah diterima di universitas dan sekolah tinggi yang bagus. Ada yang di STAN, UI, Kedokteran UNSOED, STT Telkom, AMG, dan di STIKES. Mereka heran dengan keadaanku.  Bukan bermaksud sombong, tetapi  kemampuanku tidak kalah jika dibanding mereka.  Tak cuma teman-teman, guru aku pun heran. Tapi aku balas dengan senyuman walaupun sebenarnya rasanya miris. Namun, aku bersyukur karena aku memiliki sahabat yang luar biasa yang selalu member semangat untuk terus maju.

Sekitar bulan September setelah Lebaran, aku berangkat ke Bogor bersama pamanku untuk bekerja di sana. Hitung hitung membantu orang tua untuk biaya kuliahku tahun depan, pikirku saat itu. Aku berangkat ke Bogor sekitar pukul  22:30 WIB  naik kereta. Aku diantar kedua orang tuaku dan adik-adikku sampai ke stasiun. Itu kali pertama aku pergi jauh dari orang tua. Karena tak mendapat tempat duduk, aku terpaksa berdiri. Cukup melelahkan memang. Sampai di Bogor sekitar pukul 09:00. Aku langsung menuju rumah tanteku yang berada di desa Kranggan, Gunung Putri, Bogor. Tak selang berapa hari aku mendapat pekerjaan. Menjadi buruh di pabrik permen Yupi bukanlah hal yang memalukan. Di luar sana banyak orang yang menginginkan pekerjaan ini. Sebelum menjadi pegawai disana, aku melalui beberapa kali tahap seleksi. Yang pertama cek barkas, kemudian tes wawancara. Anehnya, wawancara disini tidak seperti wawancara pekerjaan pada umumnya. Wawancaranya hanya berupa tes-tes matematika yang sangat sederhana dan tidak perlu berpikir. Dalam hati, apa korelasinya antar matematika dengan membungkus permen (gak da hubungannya kali pak). Bekerja di sana ada enaknya dan juga ada tidaknya. Menurut teman temanku yang bekerja di sana, bekerja di pabrik Yupi merupakan pekerjaan yang paling enak di banding di pabrik yang lain. Walaupun gajinya di bawah Upah Minimum Regional (UMR) tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk aku yang masih tinggal bersama bibiku. Seperti di pabrik-pabrik lainnya, di sini juga diberlakukan system kerja shift. Shift satu pukul 07:00 sampai pukul 14:30, shift dua dari pukul 15:00 sampai pukul 22:30 dan shift 3 dari pukul 23:00 sampai pukul 06:30. Shift tersebut setiap minggu berubah sesuai jadwal yang diatur pabrik. Bekerja pada shift tiga adalah hal yang berat  karena harus melawan rasa kantuk dan dinginnya suhu pada ruangan tempat bekerja. Di sana aku bekerja mengemas permen ke blister atau kalau tidak mengemas permen yang sudah dibungkus ke dalam kardus. Mungkin karena belum terbiasa, berdiri selama 7 jam atau jika sedang di pindah ke bagian lain, harus  duduk selama 7 jam merupakan hal yang  melelahkan. Dinginnya suhu di sana memaksa kami harus bekerja dengan menggunakan pakaian lengkap bak seorang yang sedang berada di kutub utara. Begitulah pekerjaan kami.
Aku bersyukur bisa bekerja di sana, tetapi aku juga tidak melupakan tujuan utamaku yaitu kembali melanjutkan sekolah di tahun berikutnya. Aku tidak melupakan belajar ketika di sana. Setiap sebelum dan sesudah bekerja aku selalu menyempatkan  mengerjakan soal soal. Itulah yang aku lakukan setiap hari. Aku menemukan teman yang memilii nasib yang sama denganku. Bekerja di sini hanya ingin menabung untuk membiayai kuliah di tahun berikutnya. Itu salah satu yang membuatku semangat di sana. Ditambah lagi aku menemukan tidak hanya satu teman yang memiliki pemikiran yang sama.
Hari demi hari disana terasa menyenangkan. Aku memiliki  sepuluh teman yang biasa bersama denganku. Tapi kebersamaan kami hanya berlangsung satu setengah bulan saja karena aku harus kembali ke Kebumen untuk belajar lebih intensif menghadapi seleksi massuk perguruan tinggi.
Bulan November aku sudah kembali ke kota asalku Kebumen tercinta. Seperti hari hari sebelumnya di Bogor, aku selalu belajar mandiri. Di rumah terasa  hampa hanya beres-beres, membantu ibu memasak, layaknya gadis tumah tangga dan juga melayani pembeli di warung jika ada.
Sekitar bulan April 2010 aku mengikuti ujian masuk universitas negeri Yogyakarta dan Alhamdulillah diterima. Masalah pun timbul, penyebabnya tidak lain adalah masalah keuangan. Aku masuk kelas Internasional yang biaya  kuliahnya selangit. Aku bahagia diterima tetapi aku juga sedih jika melihat keadaan orang tua. Konflik batin terjadi saat itu. Aku mencoba meyakinkan orang tuaku, jika ada niat  pasti ada jalan. Tapi sepertinya semua itu sia sia karena tidak ada yang bisa dimintai tolong waktu itu. Ditambah lagi kedua orang tuaku yang tidak terbiasa utang sana sini. Ada satu orang yang memberiku semangat, bulikku (istri paklik) yang biasa aku panggil Uni  karena beliau orang Padang. Beliaulah yang paling mengerti karena beliau satu satunya yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Beliau lah yang berhasil meyakinkan orang tuaku terutama bapakku agar tetap mengambil prodi pendidikan Kimia Internasional. Saat ayahku berkata ya, aku boleh mengambilnya, aku langsung menelepon bagian keuangan UNY. Pada  saat itu, tanggal 10 Mei 2010 dan pada hari itu juga pembayaran biaya kuliah jalur SM ditutup. Alhamdulillah masih ada harapan, aku disuruh menemui bagian keuangan esok paginya.
Pagi-pagi sekali aku berangkat dari Kebumen naik motor bersama Bapak. Perjalanan sedikit terhambat karena aku lupa jalan menuju UNY dan bapakku juga belum hapal jalan jalan di Jogja. Sampai di rektorat sekitar pukul 10:00, langsung menuju bagian keuangan UNY lantai 2 sayap kanan. Setelah bertanya sama bapak yang ada di sana, beliau mengarahkan untuk menemui Ibu Biro Keuangan. Tapi berhubung ibu yang sedang mengurusi sedang rapat, kami disuruh menunggu. Satu jam, dua jam, tiga jam kami menunggu. Disana juga ada seorang ibu, dan ayah beserta putrinya menunggu. akhirny a yang ditunggu datang. Pertama yang masuk ibu yang duduk di sampingku, setelah keluar dari ruangan itu, mata ibu itu terlihat sembab seperti habis menangis. Lalu aku dan bapakku masuk dan menjelaskan yang terjadi. Intinya kami meminta keringanan biaya atau  kalau tidak kami meminta agar bisa mengangsur biaya kuliah yang tergolong cukup besar. Beliau memberikan keringanan, boleh diangsur dengan membayar minimal setengah dari biaya total. Biaya total pada saat itu sejumlah Rp10.650.000,00 berarti paling tidak kami harus menyiapkan dana minimal Rp5.000.000,00 dan harus dibayarkan esok harinya. Untuk mengumpulkan dana sebesar itu dalam waktu yang singkat tidaklah mudah. Saat keluar dari ruangan itu, aku menyanggupi saran bapakku untuk melepaskan UNY dan mendaftar PGSD Kebumen. PGSD ini merupakan cabang dari PGSD UNS. Pupus sudah harapanku saat itu.
Aku sampai rumah sekitar pukul 16:30. Aku menceritakan semua yang terjadi. Ibuku hanya bisa menasihatiku agar tetap sabar karena hidup penuh cobaan.  Kemudian entah bagaimana ceritanya, paklikku datang dengan membawa uang yang dibutuhkan. Alhamdulillah, mungkin ini buah dari kesabaran. Aku berjanji pada kedua orang tuaku akan mengikuti SNMPTN IPA dengan mengambil jurusan yang sama yaitu Pendidikan Kimia UNY. Hal ini aku lakukan agar biaya semesteranku bisa turun dari 3,5 juta menjadi 700 ribu. lumayan bisa membantu meringankan beban  orang tua.
 Setelah itu aku mulai belajar intensif untuk persiapan SNMPTN. Aku bersama dua teman kembarku Siti Zulaikha dan Siti Zubaedah setiap 3 kali seminggu selalu menyempatkan waktu untuk belajar bersama. Biasanya kami melakukan try out mandiri dan membahasnya bersama. Kedua temanku mendaftar PGSD UNS, jadi kami hanya membahas soal kemampuan dasar saja. Waktu ujian tiba, aku menginap di kos temanku yang sekarang jadi kos kosku. Entah kenapa aku tidak merasa gugup sama sekali.  Tidak seperti adik adik kelasku yang sibuk belajar menjelang ujian, aku malah bersantai ria. Paling hanya membuka sekilas rumus-rumus.
Hari pengumumanpun datang. Aku takut takut membuka handphone ku dan membuka hasil pengumumannya. Dag dig dug,itu yang aku rasakan. Alhamdulillah masuk, aku langsung berlari menuju orang tuaku yang saat itu sedang berada di ruang tamu. Alhamdulillah, Allah melancarkan jalanku. Pagi harinya aku langsung mengurus kepindahanku dari kelas internasional menuju kelas subsidi.
Begitulah sedikit pengalamanku. Berbeda dari yang lain, itulah diriku. jika melihat perjuanganku saat itu, tak ingin aku menyia-nyiakan waktuku. Selalu semangat dalam menghadapi segala hal, dan tetap sabar dalam cobaan. Semoga kisahku ini bisa menginspirasi sahabat-sahabat semua agar tetap semangat dan tidak mudah menyerah pada keadaan. SEMANGAT!!!!

BY : TIKA

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih