Dunia seakan menyapa. Kurentangkan tangan dan ku hirup udara. Sejuk, segar. Kututup mata perlahan dan kuarahkan wajah menantang matahari. Ku hirup lagi udara siang dan tersimpul sebuah senyum ketika ku buka lagi mataku.
“Cepat ambil tasmu. Kita harus cepat agar tidak terlambat”, sebuah suara menghilangkan lamunanku dan dengan cepat aku menoleh pada seorang pria jakung yang sudah siap dengan tasnya. Segera ku ambil tas dan siap pergi meninggalkan desa nan asri.
Kembang Sari. Desa asri ini menjadi tempat kunjunganku bersama teman sejawatku dalam rangka survey tempat untuk sebuah acara kampus yang kami agendakan. Namun kemudian kami terpesona oleh keindahan desa yang belum begitu tersentuh oleh teknologi dan kejamnya dunia globalisasi. Desa dengan rumah-rumah sederhana namun sesuai fungsinya yaitu sebagai tempat melaupkan rindu dan harapan, juga tidak terlihat satupun gedung pencakar langit yang menutupi indahnya alam.
Seno, itulah namaku. Ayahku meninggal ketika aku duduk dibangku kelas 6, sedangkan ibuku... dia membanting tulang untuk pekerjaan apapun agar bisa menghidupiku. Syukurlah ada Mbak Zahro yang mau membantu ibuku. Akhirnya biaya sekolahku ditanggung olehnya. Tadinya aku masih belum terlalu mengerti dengan hal-hal itu, yang ada dalam kepalaku hanyalah bersenda gurau bersama teman-teman. Lambat laun aku mengerti, otakku mulai terisi hal-hal baru dan kenyataan-kenyataan tentang hidupku, juga tentang kehidupan orang-orang disekitarku. Sejak saat itu kekagumanku pada Mbak Zahro mulai muncul.
Kagum, bangga, dan ada hasrat untuk menjadikan diriku sendiri seperti dia. Atau bahkan melebihinya. Ketika aku kelas 6 SD, mbak Zahro sudah kuliah menempati semester III. Hebatnya, dia menyekolahkanku dan memenuhi kebutuhan sehari-hariku dengan uang beasiswanya. Mungkin karena memang dia anak tunggal sehingga menganggap aku sebagai adiknya, atau karena memang hatinya yang penuh cahaya sehingga melihat bahwa saudara dekatnya sedang kesusahan. Aku tak tahu, aku juga tidak peduli. Karena aku yakin Mbak Zahro ikhlas membantuku dan ibuku.
Hari ini aku bersama Bima, temanku melakukan sebuah survey untuk kegiatan kampus. Aku menjadi menjadi panitia dalam sebuah acara training untuk adik-adik angkatanku. Dan kami bertugas untuk mencari lokasi yang tepat. Dan tentu setelah melihat keadaan ini, kami sepakat bahwa desa ini sepakat untuk menjadi tempat belajar kami.
Keputusan itu sudah kami rasakan sejak pertama kali kami mulai melihat panorama disini. Hijau, jernih, segar, panas yang tidak menimbulkan gerah, ah kesan yang indah. Kemudian bertambah lagi kesan itu ketika kami mulai melangkah lagi menggunakan motorku. Jalannya halus meskipun tanpa aspal. Ku lihat orang-orang di depan. Saling bercengkrama, tegur sapa, itu memang suasana desa yang sangat ramah. Belum lagi gaya-gaya rumah kuno dari kayu yang konon kuno juga. Itu memang bahasa yang terdengar kasar, tapi kuno lebih tepat untuk menggambarkan nuansa ini. Nuansa kuno yang begitu dirindukan.
0 komentar:
Posting Komentar