Aku
adalah Aku. Nur Izatil Hasanah, seorang anak rantau dari pulau terbesar
Indonesia. Sungguh suatu kehormatan bagiku bisa menuntut ilmu di tempat para
intelektual muda dari Sabang sampai Merauke bersaing menunjukkan kebolehannya.
Belum pernah terpikirkan sebelumnya bisa bertemu orang-orang terpilih itu,
bahkan untuk membayangkan melihat tugu Yogyakarta pun aku tidak berani. Aku
masih ingat persis kalimat yang keluar dari sebuah mulut indah, “Kamu gak usah
daftar di Jogja, harapannya sangat kecil bagi orang-orang seperti kita”. Kalimat yang lumayan menyayat perasaanku dan
dengan seketika merobohkan rumah hatiku yang rapuh. Aku tahu betul akan hal
itu, lagi pula, aku bukanlah orang yang luar biasa.
Hari
demi hari, kalimat tipis nan menyayat itu terus menghantui impianku. Tapi, aku
ingat sesuatu, aku mempunyai Allah. Bukan kalimat-kalimat itu yang menentukan
bagaimana nasibku kelak. Man jadda wajada.
Aku memang orang biasa, namun memiliki semangat yang luar biasa. Walaupun tidak
jarang kekuatan itu tergerus, tapi aku selalu berusaha menjaganya hingga
sekarang. Aku pasti bisa, atas kehendak Yang Mahakuasa.
Ternyata,
kalimat yang sama sekali tidak ingin aku dengar itu tidak berhenti sampai di
situ. “Ngapain sekolah jauh-jauh, toh nanti sama saja bakal jadi guru…”
“Kamu
bakal kewalahan sekolah di sana, kita kan dari pelosok. Pendidikan kita jelas
tertinggal jauh dari mereka”
Dan
bla bla bla …
Tapi
sepertinya sudah kepalang tanggung untuk menyerah. Aku mempunyai modal yang
sangat mahal, yaitu doa Mama dan Abah. Alhamdulillah aku mempuyai orang tua
yang mengerti betul perasaan anak tercintanya. Mereka selalu mendukung ke mana
pun kakiku akan melangkah, dengan catatan, asalkan masih sesuai dengan kantong
seorang guru di sebuah SD negeri di ujung jalan desa yang reot belum terkena
imbas pembangunan. Cerita Abah yang selalu menginspirasi, beliau mengatakan
bahwa gelar PNS yang beliau sandang sekarang tidak luput dari perjuangan
panjang dan kalimat-kalimat pedas yang mematahkan semanagat, bahkan kalimat itu
keluar langsung dari mulut orang yang darahnya mengalir hingga ke darahku,
Kakek. “Sudahlah, tak perlu lagi kamu sekolah, kita adalah keluarga petani, dan
akan terus menjadi petani. Kita tidak mempunyai keturunan PNS. Lagi pula, Abah
sudah tidak punya uang lagi untuk menyekolahkanmu.”
Begitulah
kurang lebihnya, memang agak lucu, memangnya PNS itu berdasarkan keturunan atau
bahkan tertanam dalam gen seseorang? Tapi aku maklum sekaligus prihatin,
begitulah pemikiran orang kampung zaman dulu yang tidak mengerti pentingnya pendidikan.
Untungnya Abah terlahir sebagai sosok yang tangguh, yang mungkin mengalir di
nadiku sekarang. Abahlah yang menjadi revolusioner dalam keluarga kami, orang
satu-satunya yang bisa menjadi PNS. Beliau membuktikan, tidak ada yang tidak
mungkin bila kita berusaha. Layaknya sebuah pedang, walaupun dia tajam
berkilat-kilat, namun tidak digunakan sepenuh hati, pedang itu tidak akan ada
gunanya. Namun, berbeda dengan pedang yang satu, walaupun pedang itu sudah
berkarat dan tumpul, apabila terus digunakan sepenuh hati, sekuat jiwa raga dan
tenaga, dia bisa mematahkan sebuah tongkat. Itulah yang aku tanamkan dalam
diri. Walaupun aku bukanlah orang yang terlahir dengan kemampuan super, asal
selalu semangat dan tidak mudah putus asa, aku bisa melakukan apa pun. Akan
kubiarkan mereka melihatku sebagai sosok diriku seutuhnya. Aku tidak akan
berubah menjadi orang lain walaupun harus berada di tanah orang, karena aku
bangga dengan diriku. Itulah yang diajarkan dalam keluargaku, tetap menjadi
diri sendiri, dengan kesederhanaan. Tapi juga tidak boleh egois, seperti pesan
orang tuaku, di mana bumi dipijak, di
situ langit dijunjung, maka kamu akan selamat.
Saat
pengumuman tiba setelah sekitar sebulan aku mendaftar di sebuah universitas di
kota pelajar yang sejujurnya belum terlalu kukenal. UNY. Tiba-tiba teleponku
berdering, temanku meyuruh agar segera ke sekolah, suara dari telepon itu
mengatakan ada sesuatu hal yang penting. Dengan tergesak-gesak aku ke sekolah
dengan perasaan harap-harap cemas, tidak kusangka, ternyata sebuah amplop besar
berwarna cokelat dari pulau seberang dikirimkan khusus buatku. Amplop itu
berisi surat keterangan sekaligus panggilan untuk mengikuti tes kesehatan, yang
artinya aku diterima. Seketika aku sujud syukur, entah bagaimana posisinya. “Kamu
harus ke sana, ini adalah jalan awal bagi adik-adik kelasmu untuk bisa
melanjutkan studi di sana”, ucap Pak Sarjana, kepala sekolah SMAN 1 Kandangan.
Tapi aku agak bingung, mengapa beliau hanya memesankan itu padaku? Bukankah
banyak teman-temanku yang juga mendaftar di UNY? Ternyata hanya aku yang
diterima. Sekaligus yang pertama. Alhamdulillah ya Allah. Aku tidak sabar
memberikan hadiah ini untuk orang tuaku.
Kata
selamat terus berdatangan seperti melodi yang indah yang masuk dengan lembut ke
kupingku. Apakah ini sebuah faktor keberuntungan? Mengingat aku bukanlah yang
terbaik dari sekian pendaftar dari sekolahku. Mungkin inilah yang dinamakan
kekuatan atau sebuah kejaiban doa yang berbingkaikan semangat.
Saat
itu tiba, saat di mana aku harus memulai langkah baru, meinggalkan orang-orang
yang kusayangi dan selalu menyayangiku. Menutup masa-masa putih abu-abu dan
menyambut masa warna-warni. Meninggalkan hamparan tanah lapang seluas mata
memandang menuju gedung-gedung yang menghalangi pandangan di sana-sini.
Lagi-lagi dengan bermodalkan doa yang berbingkai semangat, aku mulai menjauh
dari rumah sederhana nan hangat. Lambat laun, pulau Kalimantan yang besar
semakin mengecil dari pandanganku, jauh dan menjauh, sekarang tinggal titik
kecil yang terlihat, kemudian berganti lautan awan putih yang menyilaukan.
Dengan perasaan bangga sekaligus haru aku tinggalkan mereka. Entah harus sampai
berapa lama.
Detik
demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan aku lewati bersama orang-orang
asing dari berbagai daerah dengan karakter yang berbeda-beda. Ada yang dengan
senang hati menerimaku, dan ada juga yang seolah acuh tak acuh dengan
kehadiranku. Tidak masalah, yang penting aku tidak mempunyai musuh, dan aku
sudah menjalankan amanah orang tuaku, selalu berbuat baik kepada siapa pun.
Siapa pun.
Semangatku
sangat tidak teratur, kadang naik, kadang turun. Aku selalu memompanya dengan
melepas rindu dengan bersilaturahmi dengan orang-orang yang kurindukan walaupun
hanya lewat telepon. Sesekali aku jalan-jalan dan melakukan hal-hal yang kusuka
seperti berenang, menyanyi, nonton, dan mengikuti berbagai kegiatan mahasiswa
di kampus. Bagiku, bertemu orang baru sama dengan semangat baru. Ada temanku
yang mengaku iri dengan semangatku, padahal aku tidak sesemangat yang terlihat
di luar. Aku hanya berusha untuk selalu semangat, hanya itu, syukur-syukur bisa
menularkannya kepada orang lain.
Pada
suatu hari, di awal tahun 2011, ada terpampang pengumuman di papan khusus
beasiswa. Dicari pendaftar beasiswa BBM (untuk mahasiswa kurang mampu) dan PPA
(untuk mahasiswa berprestasi). Dengan semangat aku mencoba menjadi salah satu
dari ribuan pendaftar lainnya. Beda dengan yang lain, aku harus melakukan
perjuangan yang ekstra, yakni harus mengirim form beasiswa ke Kalimantan untuk
ditandatangani orang tua dan Pak Lurah baru kemudian dikirim lagi ke Jogja.
Sesampainya surat itu di rumah kecilku nan hangat, tiba-tiba dadaku bergetar
kencang seperti mobil rongsok yang setengah mogok. “IP kamu sangat rawan.
Dengan IP yang kamu miliki sekarang hampir tidak ada kemungkinan beasiswamu
bisa diterima. Sekarang untuk mendapatkan beasiswa PPA minimal 3,6 ke atas.”
Ucap salah seorang dosen yang tidak perlu kusebutkan namanya. Batinku
bertengkar, mungkin aku harus pindah beasiswa, BBM saja, karena kriteria IP yang
diminta tidak setinggi PPA, tapi aku kan anak PNS? Walaupun profesi guru SD
ditempatku jauh dari yang orang bayangkan di sini. Apa aku tetap melanjutkan
PPA? Tapi sama saja perjuanganku akan sia-sia. Sudahlah, aku tidak jadi saja,
mungkin tahun depan jikalau IP ku sudah agak lumayan.
Saat
itu juga aku menghubungi orang rumah untuk mengurungkan niat untuk mendaftar
beasiswa. Tapi, tidak kusangka, mereka menyemangatiku, tidak usah memperdulikan
perkataan orang lain yang membuat ciut nyali kita, toh mereka bukan Tuhan, bila
Allah berkehendak, maka terjadilah.
Ajaib,
semangatku kembali pulih. Aku mengajukan PPA, pada hari terakhir, karena
kiriman balik surat baru sampai, aku mengumpulkan dua rangkap berkas lengkap,
penuh dengan harapan dan doa. Lagi-lagi batinku tersentak kaget melihat berkas
menggunung di ruang kemahasiswaan. Tapi aku selalu ingat perkataan orang tuaku
untuk menyejukkan kegundahan hati ini.
Bismillah…
Sekitar
sebulan kemudian, ”Traktir… Traktir… Selamat ya!” ucap teman-teman sambil
menyalamiku. Aku bertanya kebingungan, ternyata aku terpilih menjadi salah satu
dari sedikit orang yang beruntung. Aku masih tidak percaya, sampai kulihat
sendiri pengumuman itu. Di sana terpampang pada nomor urut 267 “Nur Izatil
Hasanah”. Aku masih tidak percaya, kemudian kugeser telunjukku ke kanan,
“10303241002” benar itu NIM ku. Alhamdulillah ya Allah. Engkau benar-benar
menunjukkan kebesaran Mu. Inilah buah dari doa yang berbingkai semangat.
Hidup,
Darinya ku tau perjuangan
Sebuah penantian,
Sejuta harapan.
Dari air mata yang kutakuti
Dengannya aku mengerti,
Itu tidak berarti sebuah kedukaan.
Dengannya aku mengerti cinta,
Tentang semangat,
Tentang sebuah pengorbanan dan rindu yang tajam.
0 komentar:
Posting Komentar