KUTEMUKAN CARAKU UNTUK SELALU MENGINGATNYA



Sebelum mengalami peristiwa ini, aku hanyalah manusia bisaa yang jarang bersyukur. Aku sering beranggapan bahwa ibadah hanyalah sekadar “Kewajiban” bisaa, sehingga tidak jarang aku melaksanakan kegiatan ini sebatas sepintas selalu. Peristiwa ini berawal ketika suatu jumat malam, saat aku sedang bersenda gurau di salah satu rumah sahabat, aku mendapat pesan singkat dari adik perempuan ibu. Disana dikabarkan bahwa saat itu adik laki-lakiku, Rio, baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas. Lalu kucoba menelepon ibu untuk mengetahui kabar ini. Namun ibu tak kunjung menjawab teleponku. Lalu kuhubungi adik perempuanku, Hana. Hana bercerita bahwa saat itu Rio sedang dalam kondisi kritis dan dirawat di ruang ICU. Ia juga bercerita bahwa Rio diduga mengalami patah tulang kaki kanan.
Setelah menutup telepon, sahabatku bertanya apa yang terjadi. Lalu kuceritakan apa yang terjadi pada Rio. Aku bercerita tanpa ada rasa khawatir dan takut sedikitpun. Aku masih menganggap hal ini sesuatu yang lumrah. Pasalnya tiga bulan sebelumnya Rio sudah mengalami patah tulang kaki kiri saat sedang berolahraga dengan teman- temannya. Sehingga aku menganggap kecelakaan yang menimpanya saat itu merupakan akibat dari kelalaiannya sendiri.
Setelah cukup larut, aku memutuskan pulang dan berpamitan kepada sahabatku itu. Sebelum pulang sahabatku memperingatkan agar jangan terlalu menganggap remeh apa yang terjadi pada Rio. Dalam perjalanan pulang, aku terus teringat siluet-siluet masa kecilku. Saat aku dan Rio sering sekali bertengkar. Aku teringat saat Rio marah ia tak segan untuk menendang dan menginjak tubuhku. Aku juga ingat ketika Ia sering sekali berkata keras dan membentak Ibu. Di saat itu aku sering bergumam, berharap agar adikku mendapat balasan atas perbuatannya. Aku bahkan pernah berharap agar Ia tidak ada lagi di dunia ini.

Keesokan harinya, ayah meneleponku dan mengabarkan bahwa kondisi Rio semakin memburuk sehingga diputuskan akan di bawa ke Jogja untuk perawatan yang lebih baik. Sabtu malam, sesampainya di Jogja, segera dilakukan uji laboratorium di salah satu rumah sakit swasta di Jogja. Kemudian dijadwalkan akan langsung dilakukan pembedahan untuk mengetahui penyebab masa kritisnya.
Setelah enam jam dilakukan operasi, dokter keluar dari ruang operasi dan memanggil Ibu serta kakek. Dokter berniat untuk membicarakan suatu hal di ruang pemulihan operasi. Sesaat aku memiliki firasat buruk. Pasalnya jarang sekali dokter melakukan hal semacam ini. Bahkan pasca Rio operasi patah tulang dahulupun dokter tidak melakukan pemangilan semacam ini. Hampir setengah jam Ibu dan Kakek berada di ruang pemulihan, namun tak kunjung keluar. Ketika mereka keluar, aku melihat Ibu tampak lesu dan raut wajah kakek tampak serius. Setelah Nampak tenang, Ibu kemudian menceritakan pembicaraannya dengan dokter.
Ibu bercerita bahwa kondisi Rio saat itu sungguh memprihatinkan. Semua saraf pada bagian paha sudah putus, tak ada yang tersambung. Otot dan pembuluh darah terkoyak hingga 10 cm. Ia bahkan sudah menghabiskan 10 kantong darah selama 3 hari ini (kemudian diketahui total kantong darah yang digunakan adalah sebanyak 30 setelah operasi ke lima). Sebelum operasi Rio sempat bercerita bahwa Ia melihat roda belakang truk telah menggilas kaki kanannya. Namun yang menakjubkan adalah kondisi tubuhnya. Ia mampu bertahan dengan Hb darah 3 selama berjam- jam dan tidak ditemukan sedikitpun tulangnya yang retak atau patah.
Ibu juga menambahkan bahwa dokter sangat pesimis dengan keberhasilan operasi yang baru saja dilakukan. Besar kemungkinan akan dilakukan pengangkatan seluruh kaki kanannya. Mendengar hal ini, tubuhku langsung lemas. Dadaku terasa sangat sesak. Aku melihat mata Ibu tampak berkaca-kaca. Lalu kucoba membendung air mataku. Kupeluk Ibu dan kutepuk bahunya mencoba menenangkan. Namun kemudian kudengar isak tangis Ibu. Dadaku semakin sesak. Aku merasa tak kuat melihat Ibu menangis lalu aku berlalu pergi. Aku berjalan menuju ruang tunggu operasi yang kecil. Kumatikan lampu ruang tunggu berharap tak ada yang melihatku di sana. Dadaku semakin dan semakin sesak kemudian air mataku akhirnya jatuh juga.
Saat itu aku merasa sangat lemah dan tidak kuat menerima kenyataan ini. Aku merasa sangat marah dan terus menyalahkan penabrak. Aku terus menangis. Begitu besar cobaan yang diberikan Allah kepada aku dan keluargaku. Setelah cobaan penyakit kanker yang diberikan Allah kepada Ibu dan adik perempuanku. Kini adik laki-lakiku terancam kehilangan separuh hidupnya di usianya yang belum genap 17 tahun. Tak bisa kubayangkan, Rio terhambat menggapai cita-citanya menjadi programmer. Usaha kerasnya hingga bisa diterima di salah satu universitas di Jogja, sirna harapan itu. Aku merasa begitu berat.
Kemudian kakek datang menghampiriku. Kakek berusaha membesarkan hatiku. Walaupun akhirnya kami berdua menangis bersama. Kakek terus memintaku untuk selalu mendoakan Rio dan berkata, “Ka, adine didongakna. Ya ndean menawa gemiyen Rio sering nukari koe, nganti mbaeh jane ngenes banget melasi maring koe. Sering gawe jengkel. Tapi ya siki dimaafna lah. Moga-moga kiye bisa dadi pelajaran kanggo Rio. Moga-moga kejadian kiye bisa gawe Rio berubah.” (Ka, doakan adikmu. Mungkin dulu Ia sering menyakiti hatimu. Namun sekarang ia sangat membutuhkan doa dan maaf darimu. Semoga kejadian ini dapat membuatnya berubah).
Aku sudah ikhlas memaafkan kesalahannya di masa lalu. Namun aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa adikku akan cacat. Sesegera mungkin dokter sudah menjadwalkan operasi pengangkatan kaki adikku. Tepat hari dimana aku dan teman- temanku sudah merencanakan liburan bersama, sehingga aku terpaksa tidak ikut berlibur bersama teman- temanku itu. Sebelum operasi, ternyata Rio mengupdate status facebooknya via handphone yang membuat hatiku semakin miris. Statusnya berbunyi, “Ya Allah…. Berikanlah ketabahan kepada kedua orang tuaku yang terus menangisi kondisiku yang semakin memburuk….”
Pasca operasi keduanya, kudengar kabar akan dilakukan re-amputasi lagi karena kondisinya yang tidak baik. Mendengar hal ini aku semakin marah. Ini akan semakin menutup harapan kami untuk memasangkan kaki palsu di kaki kanannya. Begitu marahnya aku merasa sangat ingin menampar penabrak dan menjebloskannya ke penjara hingga Ia jera. Tidak hanya itu, aku kemudian mengirimkan sebuah tulisan melalui akun kompasiana milikku. Dalam tulisan itu, aku seolah- olah menyalahkan kinerja salah satu rumah sakit yang tidak bekerja professional. Tulisan yang kukirim itu ternyata mendapat respon dari berbagai pihak. Berkat tulisan ini, rasa simpati terus mengalir dari teman, sahabat dan handai tolan.
Beberapa mengirim beberapa pesan singkat dan berusaha membesarkan hatiku. Dukungan dari teman-temanku ini membuatku semakin berusaha ikhlas menerima keadaan. Yang paling menggetarkan hatiku adalah pesan singkat dari sahabatku, Harin, “Sebagai seorang hamba, tugas kita adalah menyempurnakan ikhtiar dan doa. Allah yang akan menentukan hasil yang terbaik untuk kita. Kenapa harus berputus asa? Bukankah Rahmat Allah seluas langit dan bumi?? Wallahua’lam bisshowab…”.
Membaca pesan singkat sahabatku itu, hatiku serasa bergetar. “Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah…”. Hanya kalimat itu yang keluar saat membaca pesan Harin. Aku sadar, Yang kulakukan selama ini hanyalah menyalahkan keadaan. Selama ini, aku terus berburuk sangka dan tak pernah sedikitpun bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah. Aku tak juga sadar bahwa ini bukanlah cobaan, ini hanyalah wujud rasa sayang Allah kepadaku. Allah hanya ingin aku selalu mengingatnya.
Perlahan dan pasti, aku mencoba menata diri. Aku kemudian meminta maaf pada beberapa pihak atas tulisanku di kompasiana. Kujelaskan bahwa kondisi hatiku saat menulis benar- benar tidak karuan. Apalagi melihat kondisi adikku yang terus memburuk. Alhamdulillah mereka mengerti. Bahkan direktur rumah sakit tersebut secara langsung datang dan meminta maaf pada Rio dan keluargaku. Kami semakin ikhlas menerima kenyataan ini. Rio tetap tampak optimis menatap masa depannya. Rio berkata tetap akan meneruskan mimpinya tanpa harus mengenyam pendidikan di Jogja. Aku merasa bahagia dan bersyukur mendengarnya.
Kini, setiap aku melihat Rio tanpa kaki kanannya, aku akan selalu teringat kasih sayang Allah kepadaku. Dengan cara ini, Allah telah membuatku selalu mengingatnya. Dengan terus mengingatnya, kini aku dapat lebih taat lagi menjalankan ibadah. Karena ketaatan beribadah merupakan wujud sayang dan cinta kita kepada Allah.
Peristiwa yang menimpaku ini, telah mengajarkan satu pelajaran berharga agar aku senantiasa taat beribadah kepadaNya.           

“Selalu syukuri apapun yang kamu dapatkan. Apapun yang terjadi padamu, sesuatu yang membuatmu bahagia, sesuatu yang membuatmu luar biasa sedih hingga merasa tak mampu menerimanya . Mungkin, itu salah satu cara Allah untuk membuatmu lebih dekat dengannya…”

BY: RANI

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih