Penemuan Sebuah Nilai Menghargai Keberagaman

     Aku adalah mahasiswi semester 2 prodi pendidikan kimia kelas internasional di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta yang sedang menjalani pendidikan S1. Di rumah, aku adalah anak kedua sekaligus terakhir dari kedua orang tua yang memiliki latar belakang berbeda. Ayahku berasal dari suku Batak dan ibuku berasal dari suku Jawa. Orang Batak terkenal dengan wataknya yang keras, ambisius, dan disiplin. Sedangkan orang Jawa terkenal dengan wataknya yang lemah lembut, nrimo, dan lelet. Hal itu jelas sangat berlawanan. Ayahku memang memiliki watak seperti yang telah kusebutkan, keras, ambisius, dan disiplin. Akan tetapi, kerasnya ayahku sebenarnya lebih cenderung ke disiplin, ambisiusnya ayahku bukan untuk kekayaan atau hal lain yang sejenis, tapi lebih ke ambisi untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, dan disiplinnya ayahku bisa dibilang seperti disiplin di asrama, jam makan teratur, jam mandi teratur, dan tidak mengenal terlambat jika menghadiri suatu acara. Namun, walaupun aku memiliki keturunan darah Batak, jiwaku lebih dominan ke Jawa karena aku terbiasa hidup di Jawa mulai dari lahir sampai umurku yang ke-18 tahun ini. Oleh karena itu, terkadang aku tidak suka dengan sikap ayahku yang demikian. Sebagai seorang remaja yang masih labil, kadang aku menganggap sikap ayahku tersebut terlalu berlebihan, bahkan aku sempat berpikir untuk tidak mengikuti jejak ibuku, yaitu menikah dengan orang Batak. Di sekolah, aku juga memiliki pengalaman yang berhubungan dengan keberagaman.
Saat SMA, teman sekelasku memiliki sifat  yang beraneka ragam. Tetapi sebagian besar dari mereka egois, menurutku. Mungkin termasuk aku juga. Kita sekelas dari awal masuk sampai lulus SMA. Saat awal kelas X, ada salah seorang temanku, sebut saja namanya Rani (bukan nama sebenarnya). Ia merupakan orang yang paling dibenci teman-teman sekelas saat itu, termasuk aku karena sifatnya yang suka mengatur tanpa meminta pendapat teman sekelompoknya, suka mengambil keputusan sendiri yang menyangkut kepentingan anak sekelas, cerewet. Pokoknya kalau melihat dia, sekelompok dengannya, maupun berbicara dengannya bawaannya ingin marah, tidak pernah merasa senang dengannya. Sampai pada suatu hari, kelasku mendapat kesempatan kuliah selama dua hari di Universitas Negeri Soedirman. Di sana temanku benar-benar dijauhi, tidak ada yang mau dengannya, termasuk aku. Tapi ada salah satu temanku yang baik hati mau menemaninya, sebut saja Putri (bukan nama sebenarnya). Saat itu aku biasa saja dengan sikapku, tidak merasa bersalah atau merasa jahat karena mayoritas temanku menjauhinya.

Pada suatu hari, di kelas, aku merasa sangat bad mood. Aku merasa teman-temanku pada hari itu bersikap tidak baik padaku. Aku merasa Fatri (bukan nama sebenarnya) kata-katanya menyakitkan, Ajeng (bukan nama sebenarnya) sombong, mentang-mentang anak seorang guru di sekolahku, Arista (bukan nama sebenarnya) susah diajak kompromi, ia tidak mau menerima pendapatku, Ima (bukan nama sebenarnya) kurang perhatian padaku. Hari itu benar-benar menyebalkan. Teman-teman yang lain juga mendukung suasana menjadi lebih membosankan saat itu. Akhirnya, aku merasa benar-benar sendiri. Aku menjadi sangat pendiam, padahal biasanya aku ceria. Aku sengaja menjadi pendiam agar mereka paham akan sikapku yang tidak nyaman dengan sifat mereka. Tetapi rupanya mereka tidak mengerti. Mereka bahkan semakin menyebalkan.
Beruntung, aku punya kakak-kakak kos yang sangat menyenangkan. Menurutku kebiasaan mereka sama dengan kesukaanku, yaitu suka bercanda yang benar-benar humoris. Bersama mereka membuatku selalu senang. Kami sering berbicara tentang suatu kasus yang bisa membuat aku bisa berpikir lebih dewasa. Kita memiliki tempat favorit untuk meluapkan semua perasaan, yang kami sebut ‘ujung dunia’, yaitu atap kos. Jika ingin menyendiri, bercerita, berimajinasi, tempat itu adalah tempat yang sangat representatif bagi kami. Mereka sangat terbuka, begitupun aku. Bersama mereka, aku tak perlu menutup-tutupi sifatku yang jujur, suka ‘ceplas-ceplos’ kalau berbicara. Mereka juga tak ada yang menutup-tutupi sifat mereka yang juga sama sepertiku. Walaupun kadang komentar-komentar mereka menyakitkan, tapi aku tidak merasa sakit hati. Tetapi semakin lama mereka menyebalkan. Kak Mia (bukan nama sebenarnya) kalau berkomentar tidak memandang suasana ramai, membuatku malu. Kak Maya (bukan nama sebenarnya) egois, tidak mau berbagi. Hanya pada saat sedih saja dia datang padaku, tapi saat aku membutuhkan bantuannya dia menolak dengan tegas. Aku pikir dia hanya menguji mentalku atau hanya memberiku surprise, tapi ternyata ia sungguh egois. Kak Ria (bukan nama sebenarnya) kalau di kos sangat friendly, tapi kalau di sekolah seperti tidak pernah kenal. Akupun memilih untuk sendiri dahulu. Beberapa hari aku tidak pernah bergabung dengan mereka. Akan tetapi, dalam kesendirian itu aku sadar bahwa aku semakin tidak memiliki teman. Aku sadar, jika sikapku tetap seperti ini yang tidak mau menerima sifat teman-temanku, aku tidak akan memiliki teman. Aku menjadi sadar dan mengerti bahwa Tuhan menciptakan manusia di dunia ini dengan sifat yang berbeda-beda dan kadang sulit kita terima. Tuhan juga menciptakan manusia tidak ada yang sempurna. Aku sadar, sampai kapanpun aku tidak akan pernah menemukan orang yang sempurna bagiku, yang sesuai dengan yang aku inginkan, yang sama denganku karena manusia tidak akan pernah merasa puas menerima sesuatu, termasuk teman. Mengubah sifat orang lain sangat sulit. Orang lain saja sulit mengubah dirinya sendiri, apalagi kita mengubah orang lain? Tentu jauh lebih sulit. Niatku untuk tidak menikah dengan orang Batak juga aku urungkan. Aku merasa bodoh dengan memiliki niat tersebur karena jodoh sudah diatur oleh Tuhan. Kalau ternyata jodohku orang Batak dan aku menolaknya, tentu saja aku melanggar takdir Tuhan. Aku juga tidak ingin dilaknat Tuhan karena melanggar takdirnya. Oleh karena itu, kini aku berprinsip untuk selalu menerima perbedaan atau keberagaman sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang di sekitarku karena Tuhan telah menciptakan perbedaan itu sebagai suatu keindahan.
Saat masuk kuliah, dengan bekalku yang mengerti akan keberagaman, aku tidak kaget lagi terhadap sifat-sifat temanku yang beraneka ragam. Yang lebih banyak saya lakukan terhadap adanya keberagaman tersebut adalah mengambil hikmah dari keberagaman sifat-sifat mereka untuk diambil kebaikannya sehingga membuat hidupku lebih baik. Misalnya, jika temanku ada yang memiliki sifat suka berbohong yang tentu saja hal itu sangat merugikan, maka hikmah yang dapat kuambil dari sifat tersebut adalah bahwa berbohong sangat merugikan diri sendiri dan orang lain, oleh karena itu aku harus berusaha semaksimal mungkin untuk tidak berbohong agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain seperti temanku tersebut. Contoh lain, misal ada temanku yang suka berprasangka buruk terhadap orang lain. Kemudian aku membayangkan jika aku menjadi orang yang diprasangkakan tersebut pasti aku akan marah, sehingga aku berpikir untuk tidak suka berprasangka buruk terhadap orang lain karena akan membuat orang lain marah jika hal itu ternyata tidak benar.

Oleh karena itu, lebih baik untuk selalu berpikir positif terhadap setiap perbuatan seseorang karena apa yang mereka  pikirkan belum tentu sama dengan apa yang kita pikirkan. Jika kita terlanjur berpikiran negatif terhadap orang lain dan ternyata hal itu tidak benar, maka akan menjadi dosa yang dicatat oleh malaikat.

BY : LDP

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Blog Ini

Blog sederhana yang berisi kisah yang semoga bisa menginspirasi dan memberi manfaat bagi kita semua. Sebagian besar cerita yang telah saya posting merupakan kisah nyata yang sebenarnya juga telah di buat buku.

Bagi para pengunjung, jangan lupa untuk memberi komentar maupun tanggapan dari kisah yang ada di blog ini. Oh ya, pengunjung juga dapat mengirimkan cerita melalui email saya yang dapat diakses di tombol "Kirim Ceritamu di Sini", agar beban maupun kegalauan bisa berkurang. hehe

Terimakasih