Percaya
diri adalah sesuatu yang berharga. Dia seperti batu-batu mulia yang bernilai
tinggi, jika dirawat dengan baik. Ketika kita kehilangan rasa percaya diri itu
seakan-akan kita malu menghadapi dunia ini. Begitu juga dengan salah satu
penggalan kisah hidup saya. Kisah hidup bagaimana kita harus percaya diri
meyakini apa yang kita pilih. Terkadang memang rasanya sangat sulit, tetapi
kita harus tetap menghadapinya.
Nama
saya Winny Filinoristi. Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Kisah ini
bermula ketika saya lulus SMA. Kisah ini memang tergolong baru di dalam hidup saya,
tetapi meninggalkan arti tersendiri. Penghujung SMA adalah masa-masa yang penuh
perjuangan. Para lulusan SMA berusaha untuk melanjutkan ke perguruan tinggi
negeri maupun sekolah ikatan dinas yang memang banyak peminatnya. Saat itu saya
mendaftar di STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik) di Jakarta dan SNMPTN.
Harapan terdalam saya adalah mampu lulus ujian masuk STIS karena saya memang
lebih menginginkan sekolah ikatan dinas.
Saya
pun mendaftar ke sekolah tinggi tersebut. Setiap hari saya belajar mengerjakan
kumpulan soal-soalnya dengan harapan akan diterima. Bahkan, saya lebih sering
belajar soal-soal masuk STIS daripada soal-soal SNMPTN. Mungkin karena saya
merasa soal-soal STIS lebih mudah daripada soal-soal SNMPTN membuat saya begitu
percaya diri dapat menjadi mahasiswa STIS. Kemudian, tibalah hari ujian
tersebut. Untuk bisa diterima menjadi mahasiswa STIS saya harus melewati tiga
tahap. Tahap pertama adalah tes akademik, tes kedua adalah psikotes, dan yang
terakhir adalah general check up.
Tes
tahap pertama berhasil saya lalui dengan baik. Hal tersebut membuat saya
semakin malas untuk belajar soal-soal SNMPTN, mungkin juga disebabkan bukan ini
pilihan saya. Rasanya hanya tinggal selangkah lagi maka tercapai sudah apa yang
saya idam-idamkan. Kemudian, tiba juga ujian SNMPTN itu. Memang seperti yang
saya duga, soal-soal ini jauh lebih sulit sehingga saya merasa kurang maksimal.
Lagi-lagi saya berpikir ini bukan tujuan saya, ya jadi tak apa.
Selama
menunggu pengumuman hasil SNMPTN, tes tahap dua STIS diselenggarakan. Tes tahap
dua ini juga berhasil saya lewati dengan baik. Walaupun rasanya lebih sulit
dibanding tes tahap pertama. Dengan keluarnya hasil ini orangtua saya pun makin
berharap saya bisa menjadi mahasiswa STIS. Sayangnya, saya harus menerima kenyataan
pahit gagal di tes tahap ketiga. Sedih sekali rasanya. Segalanya berubah
menjadi sangat menyakitkan ketika kita tidak mampu menggapai yang kita
inginkan.
Kesedihan
itu bertambah dengan sikap kecewa yang ditunjukkan oleh kedua orangtua saya.
Sakit rasanya hati ini karena saya gagal membuat nyata impian orangtua.
Terlebih untuk ibu saya. Apalagi kemudian hasil SNMPTN keluar dan saya diterima
di jurusan pendidikan kimia UNY. Ibu saya tidak suka apabila saya menjadi guru.
Menurut beliau menjadi guru tidak mampu mengangkat derajat orangtua. Menurut
saya hal tersebut tidak benar. Saya tidak setuju dengan pendapat beliau.
Mungkin karena kami sama-sama emosi, orangtua saya sangat marah. Terutama ayah
saya. Beliau tidak berbicara satu patah kata pun kepada saya. Seakan-akan saya
tidak ada di situ.
Keesokan
harinya saya harus berangkat ke Jogja untuk registrasi ulang di UNY. Saya
berangkat ke Jogja hanya ditemani nenek. Orangtua saya pun masih diam saja.
Saya merasa sedih tidak dapat berpamitan dengan kedua orangtua. Keadaan
tersebut berlangsung selama dua minggu. Sungguh, saya menjadi semakin sedih dan
tidak percaya diri. Ketidakpercayaan diri tersebut membuat saya malas mengikuti
acara masa orientasi di kampus. Walaupun saya mengikuti, tetapi rasanya enggan.
Yang biasanya aktif pun menjadi pasif. Ketika malam, yang saya lakukan hanya
menangis karena saya merasa belum siap akan semua ini. Apalagi jika diawali
dengan suatu masalah. Saya sangat takut orangtua tidak merestui ini semua. Saya
sangat takut disebut anak pembangkang.
Pada
suatu hari, ibu saya mengirimkan sebuah pesan singkat yang isinya beliau ingin
saya memaklumi dan memaafkan ayah saya. Ibu bilang kalau ayah dan ibu
sebenarnya sayang kepada saya. Saya menjadi terharu dan menangis karenanya.
Saya pun mengucapkan permintaan maaf kepada kedua orangtua saya. Kemarin saya
gagal mewujudkan impian mereka. Saya juga menyesal bertengkar dengan ayah dan
ibu.
Entah
mengapa pesan singkat tersebut menenangkan hatiku. Rasanya ada kepercayaan diri
baru yang tumbuh. Rasa percaya diri untuk tidak mengecewakan kedua orangtua
lagi. Rasa percaya diri untuk membuktikan walaupun saya tidak di kedinasan
tetapi saya mampu berprestasi dan dibanggakan oleh kedua orangtua saya. Setelah
kejadian itu, saya menjadi lebih bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan di
kampus dan juga saat masa perkuliahan dimulai.
Memang
berat rasanya kuliah di tempat yang bukan pilihan kita, apalagi tidak seratus
persen orangtua merestui. Namun, saya tetap percaya diri menunjukkan inilah
diri saya. Mungkin tempat ini memang bukan pilihan yang saya impikan, tetapi
saya akan tetap berusaha berprestasi sebaik-baiknya di tempat ini.
Alhamdulillah, semester 1 kemarin saya mendapatkan indeks prestasi (IP) yang
cukup memuaskan yaitu 3,53. Inilah buah manis rasa percaya diri dan komitmen
saya di semester 1 kemarin. Semoga akan tetap berlanjut sampai saya lulus nanti
dengan hasil yang baik pula.
BY: WINY
0 komentar:
Posting Komentar