Pernah saya membaca sebuah cerita. Cerita tentang sebuah hotel yang tiba-tiba runtuh nyaris tanpa isyarat atau tanda-tanda. Kenapa dikatakan nyaris tanpa isyarat? Karena sebenarnya isyarat atau tanda-tanda itu terlalu halus hingga selalu dianggap tidak ada.
Isyarat itu seperti retakan-retakan kecil dan lembut di dinding secara merata yang sudah tidak kuat lagi menahan beban yang terlalu banyak. Sebenarnya hotel itu kokoh, awalnya. Karena muatan yang kemudian semakin lama semakin bertambah, kapasitas dan kekuatan bangunan tidak seimbang dengan isinya. Itu hasil yang di dapat setelah dilakukan analisis. Karena hampir tidak mungkin –atau mungkin, amat jarang- ada sebuah peristiwa yang terjadi tanpa ada sebab.
Sekarang, siapa yang tidak setuju bahwa tingkat kepedulian masyarakat terhadap pemerintahan sudah mulai luntur. Apatis atau tidak peduli, sekali lagi bukan tanpa sebab. Bukan berarti tidak ada yang peduli, hanya saja lebih banyak masyarakat yang lebih memilih tidak memperdulikan apa yang pemerintah lakukan. Sekali lagi, adanya sebuah peristiwa bukan tanpa sebab.
Saya teringat dengan diskusi saya bersama teman saya ketika kami bertemu di sebuah warung. Dia berkata kepada saya waktu itu
“saya heran, teman-teman saya selalu mengkritik apa yang pemerintah lakukan seperti masalah politik yang mereka lakukan di negara ini, tapi mereka sendiri tidak mau terjun di medan politik, mereka bilang: ‘aku ini benci dengan politik’. Padahal jelas kalau permasalahannya adalah politik maka seharusnya diperbaiki dengan politik, akan sangat tidak sinkron ketika politik diperbaiki dengan ekonomi. Mereka mengkritik masalah impor Indonesia tapi mereka sendiri tidak mempunyai usaha sendiri dan masih saja gemar membeli barang-barang impor. Ketika saya bertanya: ‘tapi kamu juga tetap saja membeli’. Mereka hanya menjawab: ‘ya karena memang adanya yang bagus ya ini’. ah tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan. Sebenarnya ada apa dengan bangsa ini?”
Mendengar kalimatnya ini, saya kembali teringat bahwa sebuah peristiwa terjadi pasti ada sebabnya. Bisa jadi ini penyebabnya adalah karena pemimpin dan yang dipimpin sama-sama mengalami kesulitan yang serupa. Keduanya sama-sama mengalami kegagalan. Gagal memimpin dan gagal dipimpin.
Siapa yang tidak setuju bahwa pemimpin gagal memimpin jika sudah seperti ini. Tetapi jika yang dipimpin gagal dipimpin? Ya, bisa jadi. Bukan semata-mata salah pemerintah saya kira. Namun beberapa aspirasi –atau saya sebut, keinginan- dari yang dipimpin yang terlalu berlebihan, sehingga mendesak pemerintah untuk melakukan hal-hal yang ternyata sebenarnya memiliki banyak kelemahan.
Apa cukup dengan kemudian saling menyalahkan? Saya rasa tidak. Jelas yang perlu dilakukan adalah memperbaiki. Pemimpin perlu tegas, yang dipimpin perlu kritis dan peka lingkungan.
Ketika kita telah sadar bahwa politik negara ini jauh dari bersih, apakah hanya dengan mengatakan “saya benci politik” akan membuat pihak tertentu membiarkan kita? Saya kira itu tidak mungkin. Belajar politik tidak harus oleh orang yang ingin duduk di kursi legislatif. Belajar ekonomi pun tidak harus oleh para calon ekonom, dan seterusnya. mempelajari segala aspek adalah agar kita dapat lebih peduli pada bangsa. Bukan hanya sekedar omong kosong. Belajarlah politik agar tidak diperpolitik, belajarlah ekonomi agar tidak ditipu, belajarlah sosial agar tahu keadaan masyarakat, dan seterusnya.
“Apakah bisa?”. ya, harus bisa. agent of change adalah manusia dengan semangat muda. Mari kita belajar, bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk saling mengingatkan. Demi bangsa yang lebih baik.
Semoga bermanfaat, dan bisa menjadi bahan diskusi selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar