Semangat
adalah salah satu kata favoritku.
Satu
kata yang simple namun bermakna
dalam. Bagiku semangat bukan hal yang akan begitu saja muncul dalam diri
seseorang, karena itu merupakan cerminan kekuatan diri sendiri. Begitu pula
dengan semangat dalam diriku, bukan sesuatu yang muncul begitu saja, namun
membutuhkan proses yang panjang. Nilai itu berkembang seiring dengan
bertambahnya usiaku dan pengalaman hidup yang kualami.
Saat aku masih duduk di sekolah
dasar, aku nyaris tak kenal apa arti kata semangat. Walaupun aku sering
mendengar banyak kalimat yang membangkitkan semangat, tapi hatiku sama sekali
tidak tergugah. Hidupku saat itu sangatlah monoton. Tiap hari hanya berangkat
sekolah pulang esoknya sekolah lagi lalu pulang lagi dan begitu seterusnya.
Memang pada saat itu temanku hanya beberapa orang saja. Hal itu juga di
pengaruhi oleh system sekolahku pada waktu itu yang membagi kelasnya menurut
tingkat kecerdasan siswanya, sehingga hampir mustahil untuk dapat ada di kelas
yang sama, apalagi dengan orang yang sama. Dulu aku bukanlah anak yang pintar
berbicara, apalagi bergaul. Akibatnya aku sendiri menjadi anak yang cenderung
pendiam dan menutup diri. Sampai aku duduk di kelas enam, aku tidak pernah
punya teman akrab. Bahkan sampai sekarang aku tidak pernah ingat teman-teman
saat aku sekolah dasar dulu. Hingga tiba saat kelulusan, saat itu perasaanku
sangat biasa dan cenderung tidak peduli. Aku bahkan tidak menangis karena harus
meninggalkan sekolahku.
Setelah acara kelulusan itu aku pun
mulai merenungi sifatku selama ini. Bagaimana aku bias maju kalau berbicara dan
bergaul dengan orang lain saja aku tidak sanggup. Maka aku pun bertekad untuk
mengubah sifatku yang pendiam dan pemurung itu. Dengan penuh semangat aku
memilih SMP yang akan menjadi tujuanku selanjutnya. Akhirnya aku di terima di
SMP N 1 Yogyakarta. Memang itu bukan sekolah yangterbaik yang ada di Jogja,
tapi aku sangat bersyukur bias bersekolah di sana. Karena saat itu tidak banyak
anak yang aku kenal, maka dengan mudah aku mulai berbicara dengan mereka, dan
mulai membuka lembaran baru di kehidupanku. Di sini aku mulai mengerti apa yang
dinamakan teman. Sesuatu yang tidak pernah aku miliki selama sekolah dasar. Aku
mulai menyayangi mereka dan begitu pun mereka. Banyak hal menyenangkan yang
kami lakukan selama sekolah. Walaupun pelajaran di SMP ini mulai sulit dan
rumit, namun aku terus semangat untuk berangkat ke sekolah. Sangat berbeda
dengan saat aku sekolah dasar yang hanya sekolah karena itu merupakan tuntutan
yang harus aku jalani sebagai seorang anak.
Tanpa terasa tiga tahun pun harus
berlalu dengan sangat cepat. Banyak cerita dan kenangan yang telah terjadi pada
salah satu masa yang indah dalam hidupku. Di sini aku mengenal yang namanya
teman dan cinta “monyet”, maklumlah namanya juga anak SMP. Hingga tiba saatnya
perpisahan. Bagiku inilah yang namnya perpisahan. Kami menikmati semua moment
yang ada. Waktu yang berjalan dan memory kamera yang di habiskan untuk
mengabadikan setiap waktu yang ada saat itu. Tanpa terasa saat itulah pertama
kalinya aku merasa enggan meninggalkan sekolah itu. Tiap sudutnya memiliki
kenangan tersendiri. Koridor kelas tempat biasa kami ngobrol, kantin tempat
kami mengisi perut yang kosong atau sekedar bersenda gurau, ruang ganti tempat
kami membolos saat pelajaran, lapangan voli, lapangan bola, GOR, kelas, bahkan
hanya sekedar tangga saja punya nilai penting bagiku saat itu. Dengan berat
hati, aku harus meninggalkan semua dan membiarkannya menjadi kenangan.
Lulus dari sekolah menengah pertama,
aku punya masalah lain untuk dihadapi. Harus kemana aku meneruskan sekolahku
??? maaf saja saat SMP aku memang bukan murid yang pandai dan teladan, Namun
aku rasa dulu aku termasuk murid yang popular dan aku bangga akan hal itu, Tapi
itu tidak menyelesaikan masalah. Dengan nilai yang apa adanya dan pas pasan,
aku tidak bias masuk ke sekolah yang aku inginkan. Akhirnya aku pun resmi
menjadi siswa SMA N 6 Yogyakarta. Memang bukan sekolah yang buruk, namun di
bandingakan dengan sekolah impianku, sekolah ini memang jauh dari harapan.
Untuk menjejaki dunia yang baru ini pun aku mengumpulkan semangat baru agar aku
tidak menjalani kehidupan SMAku dengan rasa kecewa.
Ternyata semangat yang aku kumpulkan
pun tidak sia-sia. Aku sangat senang bersekolah di sana. Rasanya aku jadi anak
yang sangat mudah bergaul dan di kelilingi banyak teman. Di mana pun aku, pasti
aku tidak pernah sendirian, karena selalu ada teman yang mendampingiku. Saat
aku kelas X, aku memiliki teman-teman akrab, mereka adalah sahabatku. Kami
bertemu karena ekstrakulikuler yang sama, yaitu Theater. Sahabatku itu adalah
Muvi, Rika, Anggik, dan Azka. Walaupun kami tidak satu kelas, tetapi kami
selalu berkumpul setelah bel pulang sekolah berbunyi. Kebersamaan kami pun
berlanjut hingga naik ke kelas XI
Saat pembagian kelas, aku terpisah
dengan yang lainnya. Aku di kelas XI-IA1, Muvi XI-IA3, Rika XI-IA4 dan Azka dan
Anggik Di XI-IS1. Pembagian kelas ini bukan lah hal yang buruk bagiku dan juga
mereka. Kami tetap bertemu dan bersama pada saat di luar jam pelajaran. Tak
berapa lama, Rika mengenalkan teman sekelasnya yang bernama Agri, dia anak baru
di sekolahku. Kami sangat akrab dengan Agri karena dia juga merupakan salah
satu anak theater.
Aku tak menyangka bahwa pertemuanku
dengan Agri adalah salah satu pelajaran yang berharga bagiku. Tak lama setelah
dia bergabung dengan kami, kami pun membuat sebuah grup yang bernama “BERLE”
entah dari mana asal kata itu tapi kami menyukainya. Lalu tiba saatnya PDT
yaitu lomba kepramukaan yang rutin diadakan tiap tahunnya. PDT akan meliputi
beberapa cabang termasuk lomba kesenian yaitu Theater. Sebagai anggota theater
event ini merupakan salah satu event yang cukup bergengsi karena memperebutkan
piala bergilir se-DIY. Audisi pemilihan peran pun di mulai. Awalnya aku ingin
ikut audisi untuk mendapatkan peran utama wanitanya, namun karena lomba ini
salah satu rangkaian dari PDT maka peserta theater di wajibkan untuk mengikuti
rute perjalanan sepanjang 100 Km yang ditempuh dalam tiga hari. Agri dengan
semangat mengajuklan diri dan mengikuti audisi. Dan akhirnya dia di tetapkan
sebagai peran utama wanita dalam drama tersebut.
Setelah melalui perjuangan yang
panjang dank eras akhirnya tiba saat PDT. Kami mengantarkan keberangkatan regu
PDT kami. Muvi dan Agri ikut serta dalam kelompok tersebut. Satu hari berlalu,
ketika mulai petan ada kabar bahwa Agri kondisinya tidak baik, sedangkan
pertunjukkan final theater kami akan diadakan besok malamnya. Namun dengan
percaya diri Agri berkata bahwa dia sanggup memerankan tokoh itu walau pun
terlihat kondisiny tidak memungkinkan. Dengan penuh semangat dan keberanian dia
meyakinkan kami bahwa ia sanggup. Pada malam pementasan terlihat badannya
semakin lemah namun ia tetap enggan berhenti. Akhirnya kami mempercayai
semangat dan keyakinannya. Pentas pun berjalan, Agri memainkan perannya dengan apik. Ia tidak terlihat seperti orang
yang habis sakit. Dan akhirnya usaha Agri dan kami tidak sia-sia. Kami
memenangkan piala tersebut. Benar benar sungguh hal yang menggembirakan bagi
kami.
Bulan demi bulan berganti, banyak
kejadian yang menguatkan rasa semangatku dan sahabat-sahabatku. Hingga dating
pukulan yang begitu keras bagi kami. Aku masih ingat dengan jelas, saat itu
hari sabtu, hari pertama ujian akhir semester kami. Saat itu aku yang pertama
tiba di ruang theater, kemudian dating Rika dan disusul Agri. Terlihat saat itu
Agri begitu pucat. Itu pertamakalinya aku melihat orang sepucat itu. Agri
bilang perutnya sakit dan tidak sanggup mengendarai motor, lalu Agri pun pulang
dengan kami antar. Minggunya, Agri masuk rumah sakit. Dia bilang hanya
pemeriksaan saja, namun kami tetap khawatir. Hari demi hari, walaupun saat itu
kami sedang ujian, kami selalu menjenguknya. Hingga pada hari jumat, dokter
mengatakan bahwa Agri didiagnosa menderita kanker. Sontak kami langsung sedih,
pikiranku kosong saat itu. Kanker! Itu jelas bukan penyakit ringan yang mudah
disembuhkan.saat itu kami berlima tidak bias menghentikan air mata yang jatuh
dari mata kami. Salah satu teman kami, sahabat kami, saudara kami sedang
menderita. Setelah menenangkan diri, kami kembali ke kamar Agri. Ia terlihat
kesakitan dan senyum yang dulu menghiasi wajahnya telah hilang tergantikan raut
wajah menahan sakit. Kami tak tega berlama-lama disitu. Akhirnya kami pamit
dengan berat hati. Selama perjalanan pulang, kami diam seribu bahasa tak ada
yang dapat keluar dari mulut kami. Hanya Agri yang memenuhi pikiran kami saat
itu.
Secara
rutin kami menjenguk Agri. Perlahan senyum dan tawanya kembali menghiasi
wajahnya. Hingga akhirnya kami naik ke kelas XII. Aku, Muvi, Rika dan Agri satu
kelas. Saat itu aku sangat senang karena bias menghabiskan sisa masa SMAku
dengan sahabat-sahabat yang kucintai. Namun Agri tidak di sarankan untuk
mengikuti tahun ajaran saat itu, karena kondisi yang tidak memungkinkan. Namun
semangat hidupnya tak pernah padam. Ia tetap ingin melanjutkan sekolah hingga
lulus, apapun yang terjadi. Walaupun awal tahun ia tidak masuk, namun pada saat
pertengahan ia kembali ke kelas kami. Senyumnya, gayanya, auranya, semangatnya
sama sekali tidak berubah, walaupun ia berada dalam tubuh yang tidak sehat.
Sekali pun ia tidak pernah mengeluhkan sakit yang dideritanya. Bahkan kami
tidak pernah merasa ia seperti orang sakit parah. Di mata kami ia selalu ceria
dan menyenangkan. Aku masih ingat apa yang jadi semangatnya untuk terus
sekolah.
“Soalnya
aku pengen lulus bareng kalian.” Ia mengucapkannya sambil tersenyum penuh
semangat. Tentu itu bukan hal yang mudah dilakukan apabila kita dalam posisi
yang sama dengan Agri. Namun seakan-akan semangat hidupnya mengalir juga
mengalir kepadaku.
Namun
rencana tinggal rencana. Kita mempunyai keinginan namun tuhanlah yang
menentukan. Belum ada satu semester dia menjalankan sekolahnya, Agri diharuskan
istirahat total untuk proses penyembuhannya. Harapan untuk lulus bersama kami
pun pupus sudah. Namun agri tetap optimis akan lulus tahun depan setelah ia
cuti tahun ini. Sampai ia sembuh, kami selalu datang dan menghiburnya.
Tak lama kemudian kondisi tubuh Agri
sudah mulai menurun. Ia semakin sering keluar masuk rumah sakit untuk perawatan
ini itu. Dan hari itu tanggal 22 mei 2010, aku mendapat kabar dari Hikmah bahwa
Agri sedang dirawat. Kami se-grup berencana menjenguknya saat siang hari. Namun
pada saat aku akan bersiap ke rumah sakit, seseorang menelponkku. Kulihat nama
yang tertera adalah Agri. Saat aku menerimanya bukan suara Agri yang kudapat,
namun suara mbak Fito, kakak Agri. Berita itu datang seperti Ombak yang
menyambar. Kalimat itu begitu menyayat hatiku.
“Dek Ajeng, Agri sudah enggak ada …”
entah apa yang dikatakan mbak Fito saat itu, aku sudah tidak peduli. Langsung
kututup teleponnya sambil menangis aku mengambil kunci motor dan bergegas ke
rumah sakit.
Begitu tiba di sana aku ditelpon
oleh Rika dan dia bilang Agri sudah tidak ada di kamarnya. Aku langsung berlari
menuju kamar jenazah. Teguran suster sama sekali tidak kuhiraukan yang ada
dipikiranku saat itu hanya bertemu Agri. Akhirnya itu lah hari aku melihat
wajah Agri secara langsung. Matanya tertutup, kulitnya putih dan pucat,
bibirnya kering dan kasar, dan banyak bercak biru di kulitnya. Namun ia
terlihat begitu tenang dan lega. Sekuat mungkin aku tidak menangis di depannya
karena aku telah berjanji padanya. Saat mobil jenazahnya pergi meninggalkan
kami, tak henti-hentinya kami menangis meluapkan segala sedih karena kehilangan
sahabat yang kami cintai. Tapi perjuangan Agri lah yang kemudian menjadi
semangat kami. Bagaimana ia tetap bahagia walau tahu hidupnya tidak akan lama
dan Semangatnya untuk tetap menghargai hidup.
Kini
aku telah lulus dan menjadi mahasiswa, namun semangat sahabatku itu tak pernah
hilang dari hidupku. Karena ialah aku bisa menghargai hidup dan terus maju
dengan mengengam semangat yang akan membuka jalan hidupku kelak.
BY: WIJA
0 komentar:
Posting Komentar