Hidup
adalah pilihan. Namun terkadang tanpa memilih pun kita telah dipilihkan jalan
yang terbaik. Sehingga kita tinggal memilih untuk bersyukur atau menyesali
sesuatu yang telah kita terima. Lalu bagaimanakah jika kita ragu dengan apa
yang telah kita pilih?
Semua
terkadang memang sulit dimengerti dan kita menganggap itu sangat tidak adil.
Saya tidak tahu apakah kuliah di UNY ini merupakan sebuah anugerah atau
musibah. Antara yakin dan tak yakin, antara secercah kebahagian dan secuil
kepedihan.
Andai
tak ada kata andai. Andai diberi kesempatan untuk dapat memilih. Iri rasanya
jika melihat teman yang lain bisa memilih tempat yang diinginkan sesuai harapan
mereka. Ya, mereka dapat memilih apa
yang mereka mau. Sementara aku, sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk
berada di sini. Alasannya hanya satu, uang. Tak bisa dipungkiri pada zaman
sekarang uanglah yang berbicara. Aku tak mau egois. Aku tak mau membebani ibu dengan membayar biaya kuliah yang mahal
sementara adik juga masih perlu biaya. Itulah alasan utama sehingga aku
terdampar di tempat ini.
Sedikit
flashback ke masa lalu, saat masih mengenakan putih biru. Dunia seperti terasa masih begitu sempurna. Masih teringat
rasanya, saat pertama kali menginjakkan kaki di
Jl Wardani 1. Bukan main gembira rasanya bisa sekolah di salah satu
sekolah favorit di Jogja. Awalnya memang terasa begitu asing namun setidaknya
dapat membuat ayah bangga. Masih ingat saat beliau tidak pernah mengeluh meski
harus mengantar jemput tiap hari padahal jaraknya sangat jauh.
Piyungan-Kotabaru, memang jarak yang tidak bisa dibilang dekat. Almamater yang
identik dengan kata sukses, teman-teman yang begitu keren dan cadas membuatku
yakin bahwa pintu kesuksesan tidaklah jauh. Tak terasa tiga tahun pun berlalu
begitu cepat.
Memang
benar hidup ini pilihan karena kita harus memilih jalan mana yang akan kita
lalui, begitu juga dengan memilih SMA. SMA 1 Yogya ataukah SMA 8? Pertimbangan
jarak yang begitu jauh pun membuatku berada di Jalan Sidobali 1 Muja-Muju.
Sebuah tempat indah pengantar menuju pintu kedewasaan yang penuh dengan cinta,
persahabatan, dan semangat. Cerita indah putih abu yang berpacu dalam semangat
belajar dan terus berprestasi. Hakarya gora anggatra nagara. Sebuah kata penuh
makna. Berkarya besar membangun negara. Kata yang masih membekas dalam hati
sampai saat ini.
Putih
abu seharusnya merupakan masa yang paling menyenangkan. Tetapi ada sebuah mimpi
buruk yang harus terjadi. Aku berharap semua itu hanya mimpi buruk dan akan
segera terbangun. Allah begitu sayang dengan ayah sehingga memanggilnya begitu
cepat. Saat itu aku berumur 14 tahun dan baru 3 bulan menginjak bangku SMA.
Hidupku berubah drastis. Teringat saat terakhir kali berjabat tangan dan
mencium tangannya begitu lama yang ternyata merupakan perjumpaan terakhir. Air
mata selalu menetes jika teringat beliau telah pergi selamanya. Air mata ini
terus mengalir saat sadar entah kapan bisa bertemu lagi dengan beliau.
Aku
pun tak mau mengecewakan ayah. Aku ingin membuatnya tersenyum meskipun tidak
dapat melihat senyumnya. Buku terakhir yang dibelikan beliau kebetulan adalah
buku kimia. Memang berlebihan, namun hal itu membuat aku begitu senang dengan
kimia. Aku ingin memanfaatkan pemberian terakhir itu sebaik-baiknya. Perjuangan
membuktikan semua janji itu membuat hari-hariku dihabiskan untuk mempelajari
kimia. Semangat yang begitu besar mucul saat mendengar akan ada olimpiade
kimia. Lebih tepatnya semangat untuk membuktikan dapat memberikan yang terbaik.
Aku senang sekali saat bisa meletakkan satu persatu piala baik dari olimpiade
maupun lomba kimia di samping foto ayah. Sebenarnya bukan senang, sedih sekali
malah karena tidak dapat memperlihatkannya secara langsung.
Ada
sebuah cerita konyol saat jaman olimpiade. Kalkulator scientific merupakan hal pokok bagi yang ikut olimpiade kimia.
Padahal saat itu bagiku harganya sangat mahal. Untung ada teman yang begitu
baik yang mau meminjami dalam waktu yang lama. Bermodalkan kalkulator pinjaman
alhamdulilah dapat mempersembahkan sesuatu yang membuat mereka bangga. Uang
hasil pembinaan dan lomba itu pun dapat membiayaiku untuk mendaftar seleksi
masuk perguruan tinggi. Sejak ayah meninggal ekonomi keluarga terpuruk karena
hanya menerima uang pensiunan dari ayah. Alhamdulilah cukup sih, tapi sangat
mepet sekali. Aku tak tahu apa masih dapat melanjutkan ke perguruan tinggi atau
tidak, meskipun saat itu masih terus bermimpi.
Kelas
3 pun datang. Hidup berasa hanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Dulu saat
ayah masih ada yang dipikirkan hanya belajar tak perlu yang lain. Sekarang
kondisi telah berubah, sebagai anak pertama rasanya diamanahi beban yang begitu
berat. Masih teringat saat itu ingin sekali rasanya kuliah di Farmasi UGM,
Teknik Kimia, ataupun hijrah ke ITB Bandung. Ibu malah menyarankan untuk
mengambil Pendidikan Kimia UNY. Haduh, masa dari SMP 5 dan SMA 8 ujungnya di
UNY. Bukan sebuah kesalahan sebenarnya, tetapi apakah tak ada pilihan lain.
Semua teman pun membuatku terkontaminasi
seolah tempat kuliah hanya 3 : ITB, UI, dan UGM. Seolah tak ada tempat lain.
Hal itu yang membuatku dilema, sedih, dan bingung.
Sebuah
program baru yang diluncurkan pemerintah mulai tahun 2010 “Bidik Misi” yang
membuatku terdampar bisa berada di UNY. Senang sih, bisa kuliah tanpa harus
mengeluarkan uang sepeser pun bahkan tiap bulan rekening bisa bertambah dengan
sendirinya. Alhamdulilah usaha belajar keras penuh semangat selama kelas 2
membuahkan hasil. Terima kasih Tuhan, itulah jawaban doaku. Apakah itu yang
terbaik untukku?
Tetapi
aku tak dapat membohongi yang sebenarnya kurasakan, jauh dari lubuk hati
terdalam seakan berkata ini bukan tempat yang tepat untukku. Aku masih selalu
melihat rumput tetangga yang terlihat hijau. Seiring berjalannya waktu semua
berubah, semua hal di sini adalah sejuta alasan bahwa inilah tempat terindah
yang memang dipilihkan untukku.
Menjadi
guru bukanlah sebuah kesalahan. Almamater dan nama besar juga bukan jaminan
kesuksesan. Diri kita adalah kunci dari kesuksesan. Memang banyak yang
memandang dengan sebelah mata, namun sebenarnya di mana saja itu sama. Percaya
diri merupakan hal yang terpenting. Aku harus mengembalikan semangat belajar,
semangat menuju kesuksesan yang telah pudar. Sejak kuliah di sini rasanya
kurang bersemangat belajar seperti dulu. Mungkin itu karena aku masih setengah
hati, aku masih merasa ini bukanlah tempat untukku. Hal itu yang membuat kadang tidak bersemangat
dan serius belajar di sini.
Sering
kali air mata menetes karena rasanya aku hanya membohongi diri ini. Aku
memaksakan untuk menerima dan menjalani hal yang tidak kuinginkan. Tapi takdir
berkata lain. Semua seakan berkata semua ini harus disyukuri. Memang ini bukan
jawaban atas doaku selama aku kelas 3, namun ternyata semua lebih indah dari
yang dibayangkan. Tanpa terasa sudah hampir 2 semester aku berada di bangku
kuliah dan selama itu pula aku tak perlu meminta biaya kuliah kepada ibu.
Program Bidik Misi memang merupakan program beasiswa yang membebaskan penuh
semua biaya dan malahan setiap bulan rekening akan bertambah Rp 500.000,00
dengan sendirinya. Bukankah dengan beasiswa yang telah kamu dapat kamu tak
perlu lagi memikirkan biaya kuliah? Bahkan dengan rejeki tersebut bisa untuk
membeli laptop yang sekarang saya gunakan untuk menulis cerita ini. Maafkan
hamba-Mu ini Ya Rabb jika hamba tak bersyukur dan masih sering mengeluh.
Alhamdulilah
usaha belajar keras selama SMA tidak sia-sia. Memang nilai rapotku biasa saja
namun dengan berbekal 2 piagam itu yang mengantarkanku dapat diterima semacam
pmdk lewat Bidik Misi. Sekarang saat sudah melanjutkan di kimia mengapa malah
menyesal? Ke mana semangat membara yang dulu ada? Lambat laun semua perasaan
itu memudar. Semangat itu kembali muncul. Aku menyadari bahwa jalan
perjuanganku memang sebaiknya di UNY ini. Seribu satu alasan lebih yang
membuatku seharusnya bersyukur telah dipilihkan berada di Pendidikan Kimia
Subsidi 2010.
Spedometer
yang semakin cepat menunjukkan semangatku yang terus kupacu. Kilometer yang
terus bertambah merupakan bukti perjuangan seorang anak yang haus akan ilmu.
Jarak jauh yang telah kutempuh sejak SMP harus terus dilanjutkan. Jangan pernah
terhenti oleh alasan apa pun sebelum mimpi-mimpi itu nyata. Aku pun berjanji,
bensin yang terbuang tak akan habis begitu saja. Setiap liter tetes yang
terbakar dalam mesin akan kupersembahkan sebagai sebuah senyuman. Katalis
pengantar pintu kesuksesan.
BY: IKA
0 komentar:
Posting Komentar